Rangkuman kabar, Rabu (10/11) mengurai wangsit yang ditunggu The Fed terkait kebijakan mengenai bunga acuan tahun depan. Di sisi lain, Morgan Stanley malah memprediksi ekonomi Indonesia terbang tinggi sementara negara adidaya mengalami stagflasi, lho!
Yuk, simak selengkapnya di rangkuman kabar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah tengah ancang-ancang mempersiapkan kebutuhan fiskal demi mengantisipasi pandemi-pandemi lain. Sebab menurutnya, pandemi COVID-19 hanyalah permulaan dari “bencana” kesehatan berikutnya.
Ia juga mengatakan, pemerintahan seluruh dunia telah menghabiskan anggaran US$12 triliun demi menangani pandemi. Angka tersebut belum termasuk biaya dari kebijakan moneter yang diestimasikan melebihi US$ 7 miliar.
Sementara itu, menurut Menkeu mutasi virus akan terus berlanjut selama belum tercapai kekebalan kolektif. Karenanya, langkah preventif terbaik untuk meminimalisir potensi pandemi selanjutnya datang lebih cepat ialah dengan menggalakkan vaksinasi.
Biaya fiskal dan moneter dalam penanganan pandemi yang tinggi merupakan ancaman besar yang harus mulai diperhitungkan dalam membuat perencanaan keuangan negara. Sehingga, pemerintah harus memperluas ruang fiskalnya demi mengantisipasi dampak negatif COVID-19 terhadap ekonomi Indonesia. Namun dampaknya, pemerintah tentu akan menggejot sumber penerimaan lain, misalnya dari pajak, agar pundi-pundi penerimaan negara meningkat.
Morgan Stanley memperkirakan produk domestik bruto (PDB) nasional tahun depan dapat tumbuh 5,5%, lebih tinggi dari perkiraan tahun ini 3,6%. Hal itu diungkapkan lembaga tersebut melalui riset teranyarnya.
Ada tiga faktor yang mendorong ekspansi ekonomi Indonesia tahun depan: Menguatnya pemintaan domestik, laju inflasi yang mendorong kenaikan harga komoditas, dan pertumbuhan struktural yang kuat.
Morgan Stanley juga meyakini bahwa Indonesia akan mendapat banyak relokasi investasi langsung (foreign direct investment/FDI) akibat ketegangan geopolitik di negara satu kawasan. FDI tersebut dapat mengungkit sektor riil yang menyerap tenaga kerja domestik sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi ketimbang tahun ini.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi memiliki efek berganda seperti penyerapan tenaga kerja dan kenaikan pendapatan masyarakat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang mumpuni menunjukkan geliat ekonomi yang aktif, sehingga bisa memicu investor untuk berinvestasi di Indonesia, baik di pasar modal maupun sektor riil.
Baca juga: Rangkuman Kabar: Kata The Fed, Inflasi Lebih Seram dari Pandemi. Sepakat?
Dua negara adidaya dunia, China dan Amerika Serikat, mencatat indikasi inflasi yang meradang pada Oktober lalu.
Di China, National Bureau of Statistics (NBS) merilis bahwa indeks harga produksi (Producer Price Index/PPI) meningkat 13,5% secara tahunan, lebih tinggi dari peningkatan bulan September yakni 10,7%. Laju inflasi ini melampaui rekor Juli 1995 yang mencapai 12,4%.
Peningkatan laju inflasi juga terjadi pada indeks harga konsumen (Consumer Price Index/CPI) Oktober yakni 1,5% secara tahunan, lebih tinggi dari laju inflasi September yakni 0,7%.
Sementara itu, AS mencatat indeks harga grosir lompat 8,6% secara tahunan pada Oktober kemarin. Ternyata, data tersebut merupakan rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir.
Peristiwa ini menegaskan bahwa negara-negara adidaya dunia tengah mengalami stagflasi. Yakni, sebuah kondisi di mana inflasi terus meradang meski pertumbuhan ekonomi masih belum menunjukkan performa jitu.
Jika hal itu terjadi, maka bank sentral kedua negara akan terjebak dalam dilema kebijakan moneter. Di satu sisi, kenaikan inflasi akan membuat bank sentral mengerek suku bunga acuannya. Namun di sisi lain, kenaikan suku bunga acuan malah akan menghambat penyaluran kredit, yang ujungnya menyumbat pertumbuhan ekonomi.
Presiden The Fed Minneapolis Neel Kashkari mengatakan data perekonomian AS saat ini masih terlalu buram untuk dipakai sebagai dasar menentukan arah kebijakan moneter ke depan. Sehingga, para pengambil kebijakan moneter AS tersebut mengatakan akan menunggu perkembangan ekonomi hingga musim panas tahun depan sebelum mengambil keputusan terkait kenaikan suku bunga acuannya.
Ia melanjutkan, The Fed memproyeksikan kebijakan normalisasi stimulus alias tapering yang dimulai bulan ini akan berakhir sepenuhnya pada musim panas tahun depan. Nah, pada saat itu, ia menyebut The Fed akan mengandalkan data inflasi dan tenaga kerja untuk menentukan naik-turunnya suku bunga acuan.
Menurutnya, data-data tersebut akan semakin “jelas” dalam tiga hingga sembilan bulan mendatang dan membuat The Fed mempertimbangkan menahan suku bunga acuan atau tidak.
Meningkatkan suku bunga acuan akan membuat penyaluran kredit terhambat, sehingga pertumbuhan ekonomi AS bisa seret. Namun di sisi lain, kebijakan ini tentu bisa menenangkan inflasi yang ngamuk sepanjang tahun ini. Seperti diketahui, inflasi yang meroket tentu akan melemahkan daya beli masyarakat.
Bagi Indonesia, kebijakan ini akan memancing arus modal keluar (capital outflow) yang besar. Guna menghindari efek negatif dari aksi mudik dolar AS, perlu langkah preventif seperti pendalaman pasar keuangan dan peningkatan kepemilikan domestik untuk mencegah guncangan saat wacana ini dieksekusi nantinya.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto dan reksa dana! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber: Kontan, CNBC Indonesia, Reuters
Fathia Nurul Haq
Fathia Nurul Haq
Bagikan artikel ini