Rangkuman kabar hari ini, Selasa (21/9) dibayangi oleh dua risiko eksternal yang berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
Yuk, simak selengkapnya di rangkuman kabar berikut!
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) September memutuskan untuk menahan bunga acuan (BI-7 Days Reverse Repo Rate/BI-7DRR) di 3,5%.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan bahwa keputusan tersebut didasarkan atas data perekonomian nasional yang relatif baik. Selain itu, BI juga bertekad mendukung pemulihan ekonomi dengan pengendalian inflasi dan nilai tukar untuk menciptakan iklim berusaha yang lebih baik.
BI-7DRR 3,5% merupakan level terendah sepanjang masa yang dipertahankan BI selama masa pandemi. Dengan kata lain, fokus BI saat ini adalah masih tetap memberikan stimulus moneter agar ekonomi nasional bisa terungkit meski menyebut bahwa data ekonomi nasional sudah baik.
Bergulirnya kasus gagal bayar utang super besar raksasa properti Evergrande mulai tampak di berbagai lini keuangan Indonesia. Mulai dari perolehan lelang surat berharga yang merosot hingga merahnya pasar modal.
Lelang surat berharga syariah negara (SBSN) pada Selasa (21/9) mengalami penurunan permintaan menjadi Rp45,4 triliun, menciut dibanding lelang sebelumnya pada 7 September sebesar Rp 56,6 triliun.
Tak hanya itu, nilai indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun ikut terkoreksi 0,26% sepanjang sesi perdagangan hari ini.
Krisis utang Evergrande memang terjadi di China. Namun, pelaku pasar menganggap serius kejadian ini lantaran bisa menjadi gerbang krisis utang korporat yang besar di negara tirai bambu tersebut.
Krisis utang ditakutkan bisa berdampak secara sistemik ke sektor finansial lainnya, sehingga investor kemungkinan akan terus menarik diri dari pasar modal selama isu ini belum menemui titik terang.
Salah satu perusahaan pengembang properti terbesar di China, Evergrande, tengah memicu kekhawatiran investor dunia lantaran nilai utangnya yang tinggi dengan potensi gagal bayar.
Beberapa sumber menyebut bahwa total utang Evergrande mencapai US$305 miliar atau setara Rp 4.361 triliun (kurs Rp14.300/US$). Sumber lain meyakini bahwa total utang Evergrande kepada berbagai pihak, seperti pemegang surat utang hingga pemasok dan pemerintah daerah, berjumlah lebih besar dari itu.
Gawatnya lagi, Kamis (23/9) nanti, Evergrande harus membayar bunga utang yang jatuh tempo senilai US$84 atau sekitar Rp1.200 triliun.
Jika Evergrande gagal bayar, apalagi sampai bangkrut maka dampaknya akan sangat besar bagi perekonomian China. Investor jadi akan enggan menanamkan dana di pasar modal China dan menganggap bahwa ini akan menjadi gerbang krisis utang yang lebih besar.
Di tengah ketidakpastian tersebut, investor tentu akan melepaskan diri dari instrumen investasi berisiko dan beralih ke aset yang lebih aman, salah satunya adalah emas.
Ekonom dan pelaku pasar percaya bahwa bank sentral AS The Fed akan tetap pada rencananya untuk memulai tapering di kuartal III-2021, atau selambatnya akhir tahun nanti. Mereka yakin bahwa bank sentral AS tersebut akan mengumumkan wacana tersebut dalam rapat komite pasar federal terbuka (FOMC) pada Selasa dan Rabu pekan ini.
Kebijakan tapering tentu akan mengakhiri rezim pelonggaran moneter yang dilakukan The Fed. Jika itu terjadi, maka artinya fokus The Fed kini bukan lagi mendorong pemulihan ekonomi namun menjaga agar tingkat inflasi AS tidak meradang.
Tapering adalah kebijakan di mana The Fed mengurangi jumlah Dolar AS yang beredar. Sayangnya, karena Dolar AS digunakan sebagai alat transaksi internasional di hampir seluruh negara, maka pengetatan suplai Dolar AS bisa bikin kurs Dolar AS terhadap sebagian besar mata uang akan menguat.
Akibatnya, berbagai negara harus menstabilkan nilai tukarnya dengan mengintervensi pasar valas menggunakan cadangan devisa. Selain itu, menguatnya nilai tukar Dolar AS juga akan bikin harga impor menjadi lebih tinggi.
Bagikan artikel ini