Memperingati hari kemerdekaan Indonesia, pemerintah mengumumkan postur APBN 2022 di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) awal minggu ini. Postur anggaran yang ekspansif menstimulus perekonomian pasca pandemi itu jadi tumpuan pemerintah menjalankan kebijakan kontra siklus demi menggenjot perekonomian.
Kabar Sepekan in juga ramai oleh kepastian tapering off oleh Federal Reserve yang cukup membuat gaduh. Yuk, simak selengkapnya di Kabar Sepekan!
Pemerintah mematok postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ekspansif pada 2022 mendatang. Dengan kata lain, nilai belanja pemerintah tahun depan masih akan lebih besar dibanding penerimaannya.
Hal ini ditandai dengan melebarnya rasio defisit APBN mencapai 4,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Secara rinci, berikut ringkasan postur penerimaan dan belanja pemerintah tahun depan:
Belanja negara dalam APBN 2022 sebesar Rp2.708,7 triliun yang terdiri atas:
– Belanja pemerintah pusat Rp1.938,3 triliun
– Transfer Daerah dan Dana Desa Rp770,4 triliun.
Belanja tersebut akan dibiayai oleh pendapatan negara sebesar Rp1.840,7 triliun yang terdiri atas:
– Penerimaan perpajakan Rp1.506,9 triliun
– Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp333,2 triliun.
Selisih antara keduanya akan menjadi defisit anggaran dengan nilai Rp868 triliun yang akan ditambal dengan pinjaman, baik utang luar negeri maupun penerbitan surat berharga negara.
Baca juga: Rangkuman Kabar: APBN 2022 Ekspansif, Perekonomian Jepang Pulih
Postur belanja yang ekspansif di satu sisi akan memberikan amunisi memadai bagi pemerintah untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi setelah Indonesia diterpa pandemi COVID-19. Apalagi, pemerintah juga berencana menggunakan anggaran tahun depan untuk membangun fondasi guna mengembalikan rasio defisit anggaran kembali ke 3% dari PDB sesuai amanat undang-undang.
Namun di sisi lain, masyarakat pasti terkena imbasnya untuk membiayai belanja ekspansif tersebut. Target penerimaan pajak tahun depan tumbuh 10,2% dari proyeksi penerimaan pajak tahun ini. Padahal, hingga berita ini dibuat, penerimaan pajak masih shortfall sekitar Rp87 triliun akibat lesunya perekonomian.
Bank Indonesia mencatat transaksi berjalan (current account) kembali mengalami defisit sebesar US$2,23 miliar pada kuartal II-2021. Angka ini meningkat dibanding kuartal I 2021 yakni US$1,1 miliar.
Defisit tersebut disumbang oleh defisit pendapatan primer, yakni neraca yang menggambarkan arus modal masuk dan keluar dari kegiatan ekonomi riil. Selain itu, neraca jasa juga mengalami peningkatan defisit akibat melonjaknya pembayaran jasa freight impor barang.
Transaksi berjalan merupakan satu dari dua komponen pembentuk neraca pembayaran. Alhasil, dengan neraca transaksi berjalan yang mencatat defisit, tak heran jika neraca pembayaran Indonesia ikut defisit US$450 juta di periode yang sama.
Padahal, di kuartal I 2021, Indonesia berhasil mencetak suplus neraca pembayaran US$4,06 miliar.
Baca juga: Rangkuman Kabar: Risalah Rapat Bulanan The Fed Bikin Panik
Transaksi berjalan menggambarkan arus keluar-masuk dolar AS dari aktivitas ekonomi riil. Jika transaksi berjalan defisit, maka Indonesia terbilang lebih banyak membutuhkan dolar AS ketimbang “menggenggam” dolar AS.
Hal tersebut tentu akan mempengaruhi posisi cadangan devisa Indonesia. Sementara itu, cadangan devisa sering digunakan BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Caranya adalah dengan mengintervensi pasar valuta asing menggunakan cadangan devisa tersebut.
Artinya, kurangnya cadangan devisa bisa membuat nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS.
Bank sentral AS The Fed berencana untuk melakukan tapering pada tahun ini. Hal tersebut terungkap saat otoritas moneter tersebut menerbitkan risalah rapat (minutes of meeting) bank sentral AS Juli pada Rabu (18/8).
Dengan kebijakan tapering, The Fed akan mengurangi kebijakan quantitative easing secara berkala. Yakni, kebijakan untuk meningkatkan jumlah dolar AS beredar melalui pembelian surat utang pemerintah dan efek beragun aset KPR senilai US$120 miliar per bulan.
The Fed menimbang kebijakan tersebut setelah melihat tingkat inflasi AS yang telah menyentuh ambang The Fed yakni 2%. Namun, The Fed kemungkinan akan mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut melihat 5,4 juta tenaga kerja yang belum terserap kembali oleh bursa tenaga kerja AS.
Baca juga: Rangkuman Kabar: Neraca Dagang RI Surplus, Data Ritel AS Melambat
Tapering yang dilakukan The Fed memperketat jumlah uang beredar. Akibatnya, nilai dolar AS akan berjaya melawan mata uang lainnya.
Hasilnya, masyarakat akan lebih senang menggenggam dolar AS dan menabungnya ketimbang menginvestasikannya di aset-aset berisiko, seperti saham. Hal ini bisa memicu arus modal keluar dari pasar modal, termasuk pasar modal Indonesia.
Tapering juga pernah terjadi sebelumnya pada 2013. Kala itu, pasar modal seluruh dunia mengalami kepanikan yang disebut dengan taper tantrum. Karenanya, pasar dan pelaku perekonomian masih menyimpan trauma pada kebijakan tersebut.
Nah, itu rangkuman kabar sepekan ini ya, Sobat Cuan. Selamat berakhir pekan!
Fathia Nurul Haq
Fathia Nurul Haq
Bagikan artikel ini