Bank sentral Amerika Serikat, The Fed, bikin panik dengan pengumuman kebijakan tapering. Di sisi lain, Bank Indonesia justru konsisten mempertahankan suku bunga acuannya. Sobat Cuan bisa simak selengkapnya di rangkuman kabar berikut!
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI 7-Days Reverse Repo Rate/ BI7DRR) sebesar 3,5%. BI juga mempertahankan bunga fasilitas deposit 2,75% dan fasilitas pinjaman 4,25%.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan di tengah upaya pemulihan ekonomi.
Apa Implikasinya?
BI7DRR merupakan salah satu instrumen moneter dalam mengendalikan jumlah uang beredar dan menstimulus kinerja perekonomian. Bunga acuan yang rendah akan membuat masyarakat tertarik untuk mengambil kredit di bank, baik kredit konsumtif maupun kredit usaha.
Meningkatnya kredit tersebut tentu akan berdampak baik bagi pertumbuhan ekonomi, mengingat konsumsi masyarakat dan investasi adalah dua komponen penting Produk Domestik Bruto. Aksi bank sentral ini diharapkan mampu menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III, yang sebelumnya diramal banyak tantangan.
Sayangnya, kenaikan konsumsi tentu bisa memicu inflasi. Tetapi, BI menegaskan bahwa inflasi bukan fokus utama saat ini, mengingat tingkat inflasi Januari hingga Juli 2021 baru mencapai 1,52%.
Otoritas Jasa Keuangan resmi menerbitkan dua peraturan baru di sektor perbankan, yakni POJK 12/2021 tentang Bank Umum dan POJK 13/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum. Kedua aturan ini memberikan landasan hukum operasional bank digital yang banyak menginduk pada bank umum sebagai anak usaha.
Dua beleid anyar OJK ini merupakan produk yang sangat dinantikan oleh masyarakat menilik banyaknya bank digital yang bermunculan. OJK telah menggodok aturan ini sejak lama dan mulai merumuskannya sejak awal tahun ini demi mengisi kebutuhan regulasi yang mapan mengenai operasional bank digital.
Apa Implikasinya?
Landasan hukum operasional bank digital yang jelas akan membuat masyarakat lebih terlindungi saat akan menggunakan layanan jasa keuangan tersebut. Hal ini juga sejalan dengan upaya pemerintah mendigitalisasi sistem pembayaran agar masyarakat lebih mudah mengakses layanan perbankan di mana saja.
Bank sentral AS The Fed berencana untuk melakukan tapering pada tahun ini. Hal tersebut terungkap saat otoritas moneter tersebut menerbitkan risalah rapat (minutes of meeting) bank sentral AS Juli pada Rabu (18/8).
Dengan kebijakan tapering, The Fed akan mengurangi kebijakan quantitative easing secara berkala. Yakni, kebijakan untuk meningkatkan jumlah dolar AS beredar melalui pembelian surat utang pemerintah dan efek beragun aset KPR senilai US$120 miliar per bulan.
The Fed menimbang kebijakan tersebut setelah melihat tingkat inflasi AS yang telah menyentuh ambang The Fed yakni 2%. Namun, The Fed kemungkinan akan mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut melihat tingkat pengangguran AS yang masih belum landai.
Apa Implikasinya?
Tapering yang dilakukan The Fed memperketat jumlah uang beredar. Akibatnya, nilai dolar AS akan berjaya melawan mata uang lainnya.
Hasilnya, masyarakat akan lebih senang menggenggam dolar AS dan menabungnya ketimbang menginvestasikannya di aset-aset berisiko, seperti saham.
Kabar wacana tapering ini disambut kepanikan pasar. Salah satunya tercermin pada nilai IHSG yang terpantau ambruk 2,24% ke level 5.980,54. Rupiah pun ditutup melemah 0,21%, ke angka Rp14.400 per dolar AS.
Indeks utama Wall Street, S&P 500, jatuh 1,8% akibat wacana percepatan tapering The Fed. Sebagian besar sektor mengalami koreksi lebih dalam, seperti sektor energi yang terkoreksi 2,4% dan sektor layanan kesehatan yang terkoreksi 1,5%.
Kondisi ini bisa memupus pertumbuhan nilai S&P 500 yang terdongkrak sejak tahun lalu akibat kebijakan quantitative easing yang dimulai Maret 2020. Akibatnya, beberapa analis memperkirakan S&P 500 akan terkoreksi hingga 5% tahun ini.
Apa Implikasinya?
Tapering membuat investor meninggalkan instrumen berisiko dan memilih instrumen dengan risiko yang lebih kecil.
Berdasarkan logika ini, pergeseran peminatan instrumen investasi minim risiko ini akan terus berlanjut. Terlebih, The Fed juga menyatakan bahwa pihaknya berencana menaikkan bunga acuan (Fed Funds Rate/FFR) setelah tapering selesai yang akan membuat imbal hasil obligasi jadi lebih menarik.
Sumber: Reuters, CNBC Indonesia, Tempo, Bisnis Indonesia
Bagikan artikel ini