Stagflasi adalah momok ekonomi yang ingin dihindair setiap negara. Apa alasannya? Simak selengkapnya di sini!
Stagflasi adalah siklus ekonomi yang ditandai oleh perlambatan laju ekonomi dan tingginya angka pengangguran namun disertai dengan inflasi tinggi. Kondisi ini mengindikasikan bahwa inflasi yang terjadi gagal memutar roda perekonomian.
Laiknya lingkaran setan, stagflasi adalah kondisi yang amat sulit ditangani baik oleh pembuat kebijakan maupun para pelaku ekonomi yang terlibat di dalamnya. Sebab, memperbaiki salah satu masalah malah berimbas pada faktor lainnya.
Pasalnya, stagflasi membuat siklus yang tidak lazim. Inflasi yang tinggi pada kondisi normal biasanya mencerminkan perekonomian suatu negara yang agresif. Aktivitas perekonomian ini semestinya berimbas pada penciptaan lapangan kerja sehingga pengangguran dapat terserap.
Namun, pada kondisi stagflasi, tingginya inflasi tidak mencerminkan kondisi perekonomian. Hubungan kausalitas yang anomali ini membuat pendekatan umum dalam melihat persoalan suatu negara tidak berlaku lagi. Para pelaku ekonomi dan pembuat kebijakan memerlukan pendekatan berbeda dalam menyelesaikan persoalan inflasi yang disertai stagnansi alias stagflasi ini.
Secara historis, stagflasi kerap terjadi lantaran krisis energi. Kendati begitu, stagflasi tidak mungkin dipicu oleh penyebab tunggal.
Baca Juga: Inflasi
Istilah stagflasi adalah istilah yang baru timbul di abad 20. Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1965 di Inggris. Seorang politisi Partai Konservatif yang juga menjabat sebagai anggota dewan 'House of Commons' Inggris, MacLeod memberikan pidato mengenai kondisi Inggris kala itu. MacLeod mengatakan ekonomi Inggris saat itu amat buruk lantaran mengalami inflasi dan stagnansi secara bersamaan, yang kemudian menjadi istilah baru yakni 'stagflasi'.
Lima tahun berselang setelah pidato MacLeod, gantian Amerika Serikat yang mengalami nasib sial tersebut lantaran resesi yang dibarengi krisis bahan bakar. Amerika Serikat pun meminjam istilah MacLeod untuk menggambarkan kondisi yang dialaminya.
Sejak saat itu, istilah 'stagflasi' mendulang popularitasnya sebagai salah satu kondisi yang cukup mengerikan dan berbahaya bila tidak ditangani secara serius.
Lebih lanjut, istilah stagflasi adalah salah satu istilah yang kembali menyeruak sepanjang tahun 2022. Pasalnya, selepas dunia dilanda pandemi COVID-19, laju pertumbuhan ekonomi dunia langsung 'putar balik'.
Sementara itu, di saat yang sama, konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina menyebabkan kelangkaan energi dan menimbulkan inflasi tinggi. Akibatnya, beberapa negara pun resmi memasuki fase stagflasi.
Peristiwa itu adalah salah satu contoh latar belakang di balik fenomena stagflasi. Di samping itu, terdapat pula penyebab stagflasi lainnya seperti berikut:
Salah satu teori utama mengenai penyebab inflasi adalah melonjaknya harga minyak dunia. Sebab, kenaikan harga minyak dianggap akan mengurangi permintaan minyak suatu negara, sehingga produktivitas ekonomi negara tersebut akan terhambat. Namun di saat yang sama, kenaikan harga minyak dunia akan mengerek inflasi di negara tersebut.
Salah satu contohnya terjadi pada dekade 1970-an silam. Kala itu, organisasi negara-negara pengekspor minyak dunia (OPEC) melakukan embargo atas negara-negara barat. Hal ini membuat harga minyak dunia meroket dan membengkakkan harga barang dan jasa. Kemudian, produsen barang dan jasa pun harus memangkas jumlah karyawannya demi mengompensasi kenaikan ongkos produksi.
Hanya saja, teori ini dikritik oleh beberapa ekonom. Pasalnya, stagflasi yang terjadi di AS pada periode tersebut dianggap tidak berhubungan langsung dengan embargo OPEC.
Baca Juga: Hiperinflasi
Teori lain yang melatarbelakangi kondisi stagflasi adalah buruknya perencanaan kebijakan ekonomi. Meski regulasi semestinya mendongkrak kinerja ekonomi suatu negara, ada kalanya keputusan pemerintah berbuah menjadi petaka dalam bentuk inflasi, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan pengangguran.
Para pendukung teori ini merujuk pada beberapa kebijakan mantan presiden AS Richard Nixon yang dianggap sebagai biang keladi resesi AS pada dekade 1970-an. Demi memperbaiki inflasi tinggi saat itu, Nixon pun memasang tarif impor tinggi dan membekukan penyaluran gaji selama 90 hari. Hanya saja, kebijakan tersebut justru malah memperparah kekacauan ekonomi.
Selain itu, kebijakan moneter Nixon, yang kala itu menghapus standar emas bagi mata uang Dolar AS, juga dianggap biang keladi stagflasi. Hal ini terjadi lantaran penghapusan standar emas membuat nilai tukar Dolar AS tidak lagi disandingkan dengan emas, sehingga sang aset greenback itu pun mengalami devaluasi.
Kondisi terhimpit dengan penyebab yang sulit diurai laiknya benang kusut ini akan meningkatkan indeks kesengsaraan alias misery index. Istilah ini dicetuskan oleh Arthur Okun pada tahun 1970 dengan komponen antara lain tingkat inflasi, pengangguran, dan biaya hidup di suatu negara.
Indeks kesengsaraan ini mengalkulasikan ekonomi dan biaya sosial yang harus ditanggung suatu negara akibat lonjakan inflasi dan gelombang PHK yang menyebabkan tingginya jumlah pengangguran.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan korelasi positif antara indeks kesengsaraan dengan tingkat kriminalitas. Singkatnya, stagflasi yang secara aktif meningkatkan indeks kesengsaraan juga berdampak besar pada naiknya angka kriminalitas. Tak heran jika stagflasi masih jadi momok mengerikan bagi perekonomian.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 dan Nasdaq index futures, Saham AS, serta lebih dari 140 aset kripto dan belasan produk reksa dana mulai dari Rp5.000 dan hanya tiga kali klik saja!
Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Sumber: Investopedia
Bagikan artikel ini