Investasi

down-icon
item
Investasi di pasar terbesar dunia dengan Saham AS

Fitur

down-icon
support-icon
Fitur Pro untuk Trader Pro
Temukan fitur untuk menjadi trader terampil

Fitur Proarrow-icon

support-icon
Dirancang untuk Investor
Berbagai fitur untuk investasi dengan mudah

Biaya

Keamanan

Akademi

down-icon

Lainnya

down-icon
item
Temukan peluang eksklusif untuk meningkatkan investasi kamu
support-icon
Bantuan

Hubungi Kami

arrow-icon

Pluang+

Kamus

Kebijakan Makroprudensial
shareIcon

Kebijakan Makroprudensial

10290  dilihat·Waktu baca: 5 menit
shareIcon
Kebijakan Makroprudensial

Kebijakan makroprudensial adalah paket-paket kebijakan bank sentral yang ditujukan untuk “mengatur” situasi di sistem keuangan, khususnya kegiatan kredit. Tujuannya, yakni mencegah instabilitas sistem keuangan yang bisa berdampak sistemik serta meningkatkan kualitas fungsi intermediasi perbankan.

Di Indonesia, kebijakan ini dilaksanakan oleh Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter. Belakangan ini, BI menggunakan instrumen kebijakan ini untuk mencapai indikator ekonomi yang diinginkan, seperti pertumbuhan ekonomi, dan menstabilkan kondisi jasa keuangan yang tidak seimbang.

Baca juga: Sejarah Bank Indonesia, Peran & Fungsinya Jaga Stabilitas Keuangan Indonesia

Kebijakan Makroprudensial Adalah “Jodoh” dari Kebijakan Suku Bunga Acuan

BI melaksanakan kebijakan makroprudensial sebagai “pasangan” dari kebijakan suku bunga acuan.

Kedua kebijakan tersebut bisa saling mendukung satu sama lain. Misalnya, ketika BI ingin mengarahkan kenaikan inflasi, maka otoritas moneter tersebut akan melancarkan kebijakan makroprudensial yang akomodatif dan menurunkan suku bunga acuan.

Namun, hubungan keduanya juga terbilang unik. Sebab, kebijakan makroprudensial juga bisa menahan sistem keuangan dari dampak negatif yang ditimbulkan dari sebuah kebijakan suku bunga acuan.

Sebagai contoh, bank sentral tentu akan meningkatkan suku bunga acuannya jika inflasi tengah meradang. Hal tersebut akan direspons oleh lembaga jasa keuangan untuk juga menaikkan suku bunga kreditnya.

Namun, permintaan kredit pasti akan melambat jika suku bunga kredit menanjak. Sementara itu, pertumbuhan kredit yang mandeg akan mengancam pertumbuhan konsumsi dan investasi, yang merupakan dua dari empat motor utama pertumbuhan ekonomi.

Makanya, untuk meredam instabilitas di sistem jasa keuangan dan menopang pertumbuhan ekonomi, bank sentral melancarkan kebijakan makroprudensial yang bisa menstabilkan kembali permintaan masyarakat terhadap kredit perbankan.

Hanya saja, dalam konteks di atas, arti “stabil” bukan berarti bahwa permintaan kredit harus meroket ketika suku bungan acuan sedang naik. Sebab, pertumbuhan kredit yang terlalu cepat juga malah mengerek inflasi lebih cepat lagi dan bahkan bisa mengancam stabilitas sistem keuangan itu sendiri.

Sehingga, arti kata “stabil” di sini adalah sebuah kondisi di mana permintaan dan penawaran di sistem jasa keuangan tetap seimbang.

Baca juga: Apa Itu Rasio Utang Terhadap Ekuitas?

Jenis-Jenis Kebijakan Makroprudensial di Indonesia

Lantas, seperti apa ragam dari kebijakan makroprudensial yang dijalankan BI? Dikutip dari situs resmi BI, terdapat lima jenis kebijakan makroprudensial yang adalah sebagai berikut:

1. Countercyclical Buffer

​​Countercyclical Buffer (CCB) adalah tambahan modal yang wajib dibentuk oleh bank dan berfungsi sebagai penyangga (buffer) demi mengantisipasi kerugian akibat pertumbuhan kredit atau pembiayaan perbankan yang berlebihan. Kondisi tersebut dikhawatirkan bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan. ​

BI mengatakan, kebijakan makroprudensial ini perlu diterapkan di Indonesia lantaran adanya pola prosiklikalitas. Yakni, kondisi di mana pertumbuhan kredit dan pertumbuhan kredit selalu berbanding lurus. Makanya, penyaluran kredit perbankan cenderung meningkat saat ekonomi tengah ekspansi dan melambat saat ekonomi sedang mengalami kontraksi.

Bagaimana mekanisme kebijakan ini? Jadi, bank wajib menambah modalnya ketika ekonomi sedang ekspansi, yang nantinya bisa mereka gunakan untuk menghadapi tekanan di kala ekonomi tengah mundur. Saat ini, BI mewajibkan setiap bank untuk memiliki CCB sebesar 0% hingga 2,5% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bank.

Nantinya, BI akan melakukan evaluasi terhadap besaran CCB secara berkala setidaknya sekali dalam enam bulan. Kebijakan ini tidak terpisahkan dari ketentuan permodalan perbankan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

2. Rasio Loan to Value atau Financing to Value

Kebijakan makroprudensial yang biasa disingkat LTV dan FTV ini kerap menghiasi pemberitaan sehari-hari. Adapun, LTV dan FTV adalah rasio antara nilai kredit terhadap pembiayaan yang diberikan oleh bank. Biasanya, kebijakan ini ditujukan kepada kredit kendaraan dan kredit rumah.

Sebuah kebijakan LTV dan FTV akan dikatakan longgar jika rasio keduanya mendekati 100%. Dengan kata lain, di bawah kebijakan LTV dan FTV yang longgar, seorang konsumen bisa mendapatkan kredit kendaraan atau properti hanya dengan membayar uang muka (down payment) yang semakin sedikit. Bahkan, konsumen tidak perlu membayar uang muka kredit jika rasio LTV dan FTV berada di angka 100%.

Sebaliknya, kebijakan LTV dan FTV disebut ketat jika rasio keduanya kian kecil dan mendekati ke arah 0%.

Salah satu tujuan dari kebijakan makroprudensial LTV dan FTV adalah demi menjaga stabilitas sistem keuangan dan memitigasi risiko sistemik yang berasal dari peningkatan harga properti.

Selain itu, kebijakan LTV dan FTV yang longgar diharapkan bisa meningkatkan permintaan kendaraan dan properti, yang nantinya juga berdampak ke pertumbuhan ekonomi.

Instrumen kebijakan makroprudensial, sebut BI, bersifat countercyclical atau menjaga kestabilan ekonomi dan dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi ekonomi dan keuangan.

3. Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM)

RIM adalah instrumen makroprudensial yang ditujukan untuk menilai kemampuan kredit perbankan. RIM sendiri merupakan perluasan dari rasio pinjaman terhadap pendanaan, yang akrab disebut Loan to Funding Ratio (LFR). Formulasi RIM sendiri bisa dilihat di tabel di bawah ini.

Kebijakan Makroprudensial RIM Bank Indonesia
Sumber: Bank Indonesia

Dalam kebijakan makroprudensial ini, BI menetapkan satu angka RIM sebagai acuan. Saat ini, BI mewajibkan perbankan untuk memiliki RIM di angka 84% hingga 94%.

Artinya, jika RIM bank di bawah 84%, maka penyaluran kredit bank tersebut belum maksimal. Sementara itu, jika RIM hampir mentok ke angka 94%, artinya bank tersebut hampir tidak memiliki ruang tersisa untuk menyalurkan kredit. Alias, bank tersebut perlu mengerem penyaluran kreditnya atau fokus mencari Dana Pihak Ketiga (DPK).

BI memberlakukan rasio ini demi mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan adil di antara masing-masing bank. Serta, tentu saja menjaga kestabilan sistem keuangan.

4. Penyangga Likuiditas Makroprudensial

​Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) adalah cadangan likuiditas minimum dalam rupiah, yang wajib dipelihara oleh bank dalam bentuk surat berharga berdenominasi rupiah, yang dapat digunakan sebagai bagian dari operasi moneter. Besarannya ditentukan oleh BI dengan mengambil persentase tertentu dari DPK.

PLM juga memiliki fitur fleksibilitas. Yakni, kondisi di mana surat berharga tersebut dapat digunakan untuk transaksi repo kepada BI dalam operasi pasar terbuka sebesar persentase tertentu dari DPK bank dalam denominasi rupiah.

Dengan kebijakan PLM, BI berharap bisa mengatasi permasalahan prosiklikalitas likuiditas serta menjadi instrumen makroprudensial berbasis likuiditas yang berlaku untuk seluruh bank.

5. Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek​

Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) adalah pinjaman dari BI kepada bank yang sedang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek. Kesulitan likuiditas jangka pendek adalah keadaan di mana arus dana yang masuk ke bank terbilang lebih kecil ketimbang arus dana keluar dalam rupiah. Alhasil, kondisi itu bisa membuat bank tidak dapat memenuhi kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM).

Baca juga: Apa Itu Likuiditas?

Nikmati Keuntungan dengan Investasi Aman di Pluang!

Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto Bitcoin dan Ethereum! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!

Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!

Sumber: Bank Indonesia, Bisnis Indonesia

Ditulis oleh
channel logo

Galih Gumelar

Right baner

Galih Gumelar

Bagikan artikel ini

Artikel Terkait

Debt Securities (Surat Utang)

Right baner
no_content

Trading dan Investasi dengan Super App Investasi  #1