Dalam sekitar 20 tahunan kebelakang, sejak pemerintahan Deng Xiaoping, China telah berkembang dari negara miskin menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS. Meski begitu, kontroversi tetap menyelimuti negara ini dan satu permasalahan fundamental dapat menjadi penyebab sulitnya China untuk berkembang di masa depan.
China dahulu terkenal sebagai negara komunis yang menutup dirinya dari dunia. Namun dibawah pemerintahan Deng Xiaoping, China mulai membuka diri untuk bertransaksi dengan negara luar melalui reformasi ekonomi pada tahun 1978. Hal tersebut ternyata membuahkan hasil positif bagi ekonomi China dimana GDP mereka tumbuh pesat paska reformasi tersebut. Tercatat, GDP mereka tumbuh sekitar 8.9% per tahun sejak 1978 hingga saat ini.
Pertumbuhan GDP China. Sumber: Trading Economics
Pada tahun 2023 sendiri, ekonomi China mewakili hampir 17% dari ekonomi dunia. Hal tersebut menempatkan ekonomi China menjadi yang terbesar kedua di dunia setelah AS, dan menjadi motor penggerak ekonomi di Asia.
Namun rupanya hal tersebut juga diwarnai banyak kontroversi, khususnya tudingan bahwa China sangat sering melakukan pembajakan terhadap sebuah produk. Tak hanya pembajakan, pencurian teknologi dan informasi juga mewarnai perjalanan negara ini untuk memperoleh keunggulan. Meskipun China pada awalnya menjadi primadona destinasi outsource manufaktur oleh AS, kini AS menganggap China sebagai rival dan perlahan ingin memutuskan hubungan dengan negeri tirai bambu ini.
Paska pandemi, China berada pada kondisi ekonomi yang tidak stabil. Selain daripada tensi geopolitik yang semakin memanas dengan AS, perekonomian dalam negeri mereka juga terlihat menunjukkan tanda-tanda permasalahan.
Krisis real estate mewarnai perekonomian China di saat ini dengan tumbangnya 2 perusahaan raksasa properti, Evergrande dan Country Garden. Sejak awal pertumbuhannya pada dekade 90an, keluarga-keluarga di China menginvestasikan hartanya pada properti, membuat harganya perlahan melambung tinggi. Namun kini, krisis properti membuat harga nya justru jatuh. Padahal 70% dari aset keluarga di China disimpan dalam bentuk properti, membuat penurunan 5% dari nilai properti akan menghapus $2.7 triliun kekayaan, seperti yang diperkirakan oleh Bloomberg Economics.
Sumber: Statista
Peningkatan harga rumah baru di China mengalami tren penurunan setiap tahunnya. Bahkan, mulai pada tahun 2022, rumah baru di China justru dijual lebih murah dibanding tahun tahun sebelumnya.
GDP China juga tumbuh dalam tingkat yang lebih rendah setiap tahunnya. Pada Q2 2024, GDP China hanya tumbuh 4.7%, lebih rendah dari ekspektasi yang berada pada angka 5.1%. Angka ini tentu sangat kontras dengan tingkat pertumbuhan yang dialami China pada dekade 90an hingga 2010an dimana seringkali pertumbuhan ekonomi mereka menyentuh angka dua digit.
Sumber: Trading Economics
Permasalahan China selanjutnya adalah dari sisi populasi. Memang saat ini, berdasarkan grafik dibawah, populasi usia produktif China mendominasi jumlah penduduk. Namun grafik yang semakin mengecil kebawah menunjukkan bahwa mereka akan kekurangan penerus di masa depan, akibat potensi angkatan kerja yang semakin sedikit. Dan lambat laun, angkatan produktif di saat ini akan memasuki usia pensiun yang justru akan menjadi tanggungan generasi selanjutnya, seperti apa yang sudah dialami oleh Jepang.
Sumber: PopulationPyramid
Permasalahan angkatan kerja usia muda di China juga tak kalah menarik. Sejak Juni 2021, tingkat pengangguran anak muda di China telah meningkat dari 15.4% hingga 21.3% pada Juni 2023. Setelahnya, pemerintah China memutuskan untuk menghentikan publikasi tingkat pengangguran anak muda. Baru pada Desember 2023 hingga kini, data tersebut kembali dipublikasikan dengan metode yang disebut berbeda, yang menunjukkan tren penurunan. Tentu ini menjadi tanda tanya apakah hal tersebut adalah kenyataan yang terjadi dilapangan, atau difabrikasi supaya memberi hasil yang lebih baik, melihat tren yang berubah arah dengan sangat jomplang.
China's Youth Unemployment Rate. Sumber: Statista
Bursa saham AS rupanya masih menjadi magnet bagi perusahaan global, tak terkecuali China. Tak bisa dipungkiri, kinerja dari saham-saham kelas kakap yang listing di bursa ini sering dijadikan tolok ukur dari perekonomian sebuah negara. Berikut rangkuman beberapa perusahaan besar asal China yang juga diperdagangkan pada bursa AS.
Perusahaan besutan Jack Ma ini telah kehilangan 54% nilainya dalam 5 tahun terakhir. Bahkan dari puncak tertingginya, Alibaba telah turun lebih dari 73%.
Sumber: Google Finance
Raksasa search engine di negeri tirai bambu ini juga kehilangan 12% dari nilainya dalam 5 tahun terakhir. Jika dilihat dari puncak tertingginya, mirip seperti BABA, BIDU telah terkoreksi lebih dari 73%.
Sumber: Google Finance
Penguasa e-commerce di China ini juga telah kehilangan 17.29% nilainya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Dan dari titik tertingginya juga telah terkoreksi lebih dari 73%.
Sumber: Google Finance
Dibandingkan tida contoh sebelumnya, rupanya hanya produsen mobil listrik ini lah yang dalam 5 tahun kebelakang mengalami apresiasi. Tercatat, NIO terapresiasi 28.14% sejak 2019 hingga kini. Namun, tetap saja, NIO masih berada dalam tren penurunan. Justru, jika diukur dari puncak tertingginya, NIO yang terdepresiasi paling parah dengan penurunan sejauh lebih dari 94%.
Sumber: Google Finance
Ekonomi China rupanya sedang tidak baik-baik saja. Angka-angka ekonomi yang kunjung belum membaik, ditambah lagi tensi geopolitik yang terjadi dengan AS, membuat country risk yang dimiliki oleh negara ini cukup tinggi.
Bahkan, pada 2023, China mengalami net outflow kembali sejak 5 tahun sebesar $68.7 miliar. Hal ini menunjukkan minat investasi asing di China sudah berkurang, dan para pelaku pasar berusaha untuk menarik modalnya keluar dari negara ini.
Sumber: Nikkei Asia
Pelemahan yang terjadi ini apabila tidak segera dibenahi oleh pemerintah dan warga China sendiri, bisa mengancam posisi China di masa depan, khususnya sekara ekonomi. Dalam jangka pendek, China terlihat masih sulit untuk bisa menyaingi kekuatan ekonomi nomor 1 di dunia saat ini. Namun satu hal berbeda yang menjadi keunggulan dari China adalah jumlah populasinya yang terbesar di saat ini dengan 1.4 miliar jiwa, menjadikannya potensi pasar terbesar untuk sebuah bisnis.
Bagikan artikel ini