Menerka naik dan turun harga Bitcoin memang seperti menebak-nebak buah manggis. Bukan hanya sifatnya yang fluktuatif, harga Bitcoin kadang bergerak signifikan secara mendadak di saat-saat yang tak terduga.
Fluktuasi itu kian terasa sepanjang tahun ini. Pada bulan lalu, harga Bitcoin masih di kisaran US$29 ribu per keping. Namun, pada akhir pekan lalu, harganya tiba-tiba melejit hampir mendekati US$60 ribu per keping.
Memang, banyak pihak memprediksi bahwa harga Bitcoin akan naik sepanjang waktu. Pada Januari lalu, contohnya, perusahaan investment bank JPMorgan mengatakan bahwa harga Bitcoin bisa mencapai US$146 ribu per keping dalam jangka panjang.
Meski demikian, koreksi harga dalam jangka pendek tetap saja terjadi. Sebagai contohnya adalah pekan ini. Harga Bitcoin yang awalnya bertengger manis di US$58 ribu per keping harus terjungkal ke US$50 ribu hanya dalam empat hari saja.
Sehingga, apakah ada cara mudah untuk menaksir harga Bitcoin? Tentu saja, jawabannya adalah tidak. Sebab, investor harus memperhatikan tren sejarah harganya hingga analisis fundamental yang melatari pergerakan harganya selama ini.
Hanya saja, dua manajer investasi top asal Bitwise Asset Management Matt Hougan dan David Lawant memberikan kisi-kisi bagi investor untuk menilai harga Bitcoin. Petunjuk tersebut mereka tuangkan ke dalam riset setebal 64 halaman yang diterbitkan oleh CFA Institute baru-baru ini.
Namun, investor perlu ingat bahwa petunjuk ini tidak saklek menentukan harga Bitcoin dan tidak untuk digunakan sebagai acuan utama berinvestasi. Kisi-kisi yang disusun Hougan dan Lawant ini hanya memberi gambaran bahwa terdapat beberapa pendekatan yang bisa digunakan pecinta aset kripto untuk menerka pergerakan harga Bitcoin.
Lantas, apa saja kisi-kisi yang dimaksud?
Baca juga: Harga Ethereum Naik dan Cetak Rekor Singkat Senin Ini
Sejauh ini, menghitung Total Addressable Market (TAM) Bitcoin adalah metode populer yang digunakan investor dalam menilai harganya. Adapun, Total Addressable Market adalah estimasi pendapatan yang bisa didapatkan jika suplai suatu produk sudah ludes di pasaran.
Dalam konteks Bitcoin, beberapa investor kerap membandingkan TAM aset kripto tersebut dengan kapitalisasi pasar emas, yang saat ini kira-kira berada di kisaran US$13 triliun. Sebab, sifat Bitcoin dianggap setara dengan emas, yakni sebagai aset penyimpan kekayaan.
“Kita semua tahu bahwa suplai Bitcoin paling maksimal hanya 21 juta keping. Sehingga, jika dibandingkan dengan kapitalisasi pasar emas saat ini, maka masing-masing Bitcoin nantinya bisa dihargai US$620 ribu per keping jika seluruh 21 juta keping itu sudah diedarkan ke pasar,” tulis laporan tersebut.
“Kemudian, anggaplah jika kapitalisasi pasar Bitcoin saat ini hanya mengambil 10% dari pasar emas sekarang. Maka, harga Bitcoin harusnya bisa mencapai US$62 ribu. Begitu pun seterusnya,” imbuh laporan itu.
Hougan dan Lawant mengatakan bahwa metode ini mudah dimengerti dan merupakan estimasi terbaik untuk menakar kisaran sebuah harga aset kripto.
Pendekatan ini, imbuh Hougan dan Lawant, digunakan oleh dua praktis modal ventura ulung yakni Chris Burniske dari Placeholder Ventures dan Jack Tatar dari Doyle Capital.
Teori ini merupakan adaptasi dari teori kuantitas uang yang menyatakan bahwa jumlah uang yang berpindah tangan di masyarakat selalu setara dengan jumlah nilai traksasi barang dan jasa yang terjadi di antara mereka.
Namun, bagaimana teori tersebut diaplikasikan ke dalam konteks Bitcoin dan aset kripto?
Asumsikan bahwa Bitcoin memproses 100 miliar transaksi per tahun, di mana masing-masingnya bernilai US$100. Artinya, transaksi Bitcoin per tahun akan setara dengan US$100 triliun.
Setelah itu, asumsikan bahwa Bitcoin sudah berpindah tangan selama lima kali per tahun. Maka, kapitalisasi pasar Bitcoin yang ideal seharusnya adalah US$10 triliun dibagi lima kali pindah tangan, yakni US$2 triliun.
Kemudian, angka US$2 triliun itu dibagi lagi dengan jumlah Bitcoin yang sudah beredar dan belum ditambang sebesar 21 juta keping. Hasilnya, harga Bitcoin seharusnya bisa menyentuh kisaran US$91 ribu per keping.
Dalam laporannya, Hougan dan Lawant menyebut bahwa rintangan dalam menggunakan metode ini adalah ketidakjelasan ihwal jumlah perpindahan tangan Bitcoin dalam setahun.
Baca juga: Orang-Orang Ini Tajir Berkat Bitcoin. Siapa Saja?
Pendekatan ini merupakan turunan dari hukum Metcalfe, yang mengatakan bahwa nilai sebuah jaringan akan selalu setara dengan jumlah orang yang terlibat di dalamnya yang dikuadratkan.
“Sebagai contoh. Sebuah situs jejaring sosial, seperti Facebook atau Instagram, akan bernilai nol jika tidak ada orang yang menggunakannya. Namun, jika di dalamnya ada dua pengguna, jaringan tersebut akan menjadi bernilai,” terang laporan tersebut.
Hukum tersebut kemudian dikembangkan oleh Ken Alabi dari Stony Brook University untuk menaksir harga Bitcoin dan aset kripto. Dalam penelitiannya, Alabi melihat jumlah pelaku pasar Bitcoin yang aktif per harinya di seluruh jaringan aset kripto yang tersedia. Kemudian, ia membandingkan perbedaan nilai di antara dua indikator tersebut.
Namun, Hougan dan Lawant mengatakan bahwa perhitungan ini hanya bisa digunakan untuk membandingkan perbedaan valuasi antar aset kripto. Selain itu, metode ini juga menggunakan bobot yang seimbang antar pelaku pasar aset kripto, sehingga pendekatan ini terkesan tak masuk akal untuk digunakan menaksir harga Bitcoin cs.
Pendekatan yang awalnya dicetuskan oleh Adam Hayes ini berpusat pada satu sudut pandang. Yakni, memandang aset kripto sebagai komoditas. Tentu, sebagai sebuah komoditas, diperlukan ongkos produksi untuk mendapatkannya.
“Dengan pendekatan ini, nilai masing-masing Bitcoin bisa diestimasi dengan menghitung biaya marginal dari aktivitas pertambangan aset kripto tersebut. Kemudian, biaya marginal itu dibandingkan lagi dengan tingkat imbal hasil yang diharapkan dari pertambangan Bitcoin,” tutur Hougan dan Lawant.
Meski begitu, Hougan dan Lawant sangsi bahwa metode ini bisa digunakan untuk menaksir harga Bitcoin. Sebab, belum ada hubungan sebab-akibat yang jelas antara biaya marginal pertambangan Bitcoin dan imbal hasilnya.
Baca juga: Setelah Sentuh All-Time High, Ke Mana Arah Bitcoin Berikutnya?
Pendekatan terakhir ini menekankan bahwa naik dan turun harga Bitcoin adalah cerminan dari suplai yang kian menipis. Kondisi tersebut kemudian digambarkan melalui rasio stock-to-flow, yakni rasio yang mengukur hubungan antara nilai Bitcoin saat ini dengan jumlah Bitcoin baru yang diproduksi setiap tahun.
Hanya saja, Hougan dan Lawant agak skeptis dengan pendekatan tersebut.
“Memang benar bahwa suplai Bitcoin terbatas. Namun, mempertimbangkan faktor ini saja untuk menentukan harga Bitcoin rasa-rasanya tidak tepat,” jelas mereka.
“Apalagi, nilai rasio stock-to-flow secara otomatis akan selalu naik seiring minimnya suplai. Jika kondisi ini terjadi, harusnya pasar Bitcoin akan nyaman berada dalam posisi bullish melulu,” imbuh Hougan dan Lawant.
Download aplikasi Pluang di sini untuk investasi emas, S&P 500 index futures, serta aset kripto Bitcoin dan Ethereum! Harga kompetitif di pasaran, selisih harga jual-beli terendah, dan tanpa biaya tersembunyi!
Untuk investasi emas, kamu bisa melakukan tarik fisik dalam bentuk emas Antam mulai dari 1 gram hingga 100 gram. Sementara dengan Pluang S&P 500, kamu bisa berinvestasi di kontrak berjangka saham perusahaan besar di AS! Mulai dari Apple, Facebook, Google, Netflix, Nike, dan lainnya! Segera download aplikasi Pluang!
Sumber:Business Insider
Bagikan artikel ini