Rangkuman kabar, Selasa (5/10) menyoroti lonjakan investor aset kripto di dalam negeri.
Sementara dari manca negara, krisis energi makin meluas!
Simak selengkapnya di rangkuman kabar.
Bank Indonesia mencatat lonjakan investor aset kripto pada paruh pertama tahun ini. Hingga Juni 2021, total investor aset kripto mencapai 6,5 juta, jauh melampaui investor pasar saham yang hanya sekitar 2,4 juta.
Peningkatan paling pesat terjadi pada Maret 2021 saat harga aset-aset kripto mengalami lonjakan tajam. Sebut saja Bitcoin yang kala itu sempat menyentuh level Rp850 juta per keping.
Lonjakan peminat cryptocurrency, menurut BI, harus dibarengi dengan mitigasi risiko yang baik. Pasalnya, BI menilai aset kripto memiliki volatilitas yang tinggi dan risiko besar.
Tingginya pertumbuhan investor aset kripto menandai besarnya antusiasme masyarakat dalam berinvestasi di pasar kripto. Ini dapat menjadi tolok ukur prospek pasar kripto yang semakin baik di dalam negeri dan bahkan bisa membuka adopsi aset kripto lebih luas bagi investor institusi.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat Harga Batu Bara Acuan (HBA) bulan ini tembus ke level US$161,63 per metrik ton. Krisis energi yang melanda sejumlah negara termasuk China mendorong tingginya permintaan tersebut.
HBA adalah harga yang diperoleh dari rata-rata Indonesia Coal Index, Newcastle Export Index, Globalcoal Newcastle Index, dan Platt’s 5900 pada bulan sebelumnya dengan kualitas yang disetarakan. Selama satu dekade, HBA tertinggi hanya mencapai US$150,03 per ton.
Rekor ini dipastikan akan terus menanjak mengingat harga batu bara yang terus memecahkan rekornya sendiri dalam beberapa hari ini. Harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) kemarin, tercatat sudah mencapai US$ 247/ton.
Naiknya harga acuan batu bara tentu akan berdampak baik pada kinerja ekspor yang makin melesat. Akibatnya, Indonesia bisa mencetak surplus neraca perdagangan, yang bisa berdampak baik pada cadangan devisa Indonesia. Sementara itu, cadangan devisa bermanfaat bagi Bank Indonesia untuk mengintervensi pasar valuta asing untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah.
Tak hanya itu, kenaikan HBA juga akan mempertebal pundi-pundi penerimaan negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tambang.
Tapi di sisi lain, produsen batu bara dalam negeri perlu mengamankan stok nasional sebelum mengekspor. Sebab, krisis energi saat ini justru terjadi pada negara produsen batu barfa terbesar di dunia yakni China, diikuti oleh India yang menduduki peringkat ketiga.
Indonesia sebagai produsen terbesar keempat yang juga menggantungkan produksi listriknya pada batu bara jangan sampai ikut terancam krisis.
The Commerse Departement merilis data bahwa pesanan manufaktur AS Agustus meningkat 1,2% secara bulanan (month-to-month). Selain itu, lembaga tersebut juga merevisi ke atas permintaan di bulan Juli dari 0,4% jadi 0,7%.
Survei juga menyebutkan bahwa kenaikan permintaan terus berlanjut di bulan September yang menandakan momentum pemulihan bagi industri manufaktur masih berjalan.
Naiknya permintaan manufaktur di bulan Agustus merupakan indikasi mulai pulihnya perekonomian AS di tengah banyaknya persoalan dalam negeri dan ancaman gagal bayar yang masih membayang. Adapun industri manufaktur berkontribusi sebesar 12% dari total perekonomian AS. Sehingga, kenaikan produksi manufaktur ikut menopang pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal III.
Pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden Joe Biden mengatakan akan mengimplementasikan kebijakan perdagangan baru “yang lebih menekan” China.
Perwakilan dagang AS untuk China Katherine Tai mengatakan, manuver dagang AS terhadap China akan dilakukan melalui kebijakan tarif. Hal ini dilakukan AS lantaran China dianggap tidak “mengindahkan norma-norma perdagangan dunia yang berlaku”.
Tensi dagang baru antara AS dan China kemungkinan besar akan merembet dengan beberapa kebijakan-kebijakan ekonomi yang saling menyerang satu sama lain, seperti yang terjadi di bawah kepemimpinan mantan Presiden AS Donald Trump.
Ketegangan geopolitik dan ketidakpastian ekonomi tersebut tentu akan bikin investor sedikit menjauh dari pasar modal. Bahkan, pada jangka menengah, perang kebijakan itu bisa menghambat pertumbuhan ekonomi kedua negara. Padahal, AS dan China sama-sama sedang berjuang untuk pulih pasca ekonominya dihantam oleh pandemi COVID-19.
Sumber: Reuters, NDTV, Tempo, Bisnis Indonesia
Bagikan artikel ini