Mengakhir pekan, Jumat (1/10), rangkuman kabar melaporkan sejumlah data statistik dalam negeri yang mengindikasikan pemulihan ekonomi bulan lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 0,04%, alias deflasi, selama bulan September.
Meski demikian, inflasi tahun kalender bertengger di level 0,8%. Sementara inflasi tahunan sebesar 1,6%, masih jauh di bawah target pemerintah yakni 3%.
Rendahnya tingkat inflasi bulanan mencerminkan bahwa permintaan barang dan jasa masyarakat sepanjang bulan September terbilang lemah dibanding bulan sebelumnya. Sehingga implikasinya, pemerintah dan bank sentral mungkin masih akan menetapkan kebijakan moneter dan fiskal longgar demi mengerek pertumbuhan tersebut.
IHS Markit mencatat kinerja manufaktur Indonesia kembali ke zona ekspansif pada September lalu menjadi 52,2. Di bulan Juli dan Agustus, PMI Manufaktur terjerat di zona kontraksi masing-masing 40,1 an 43,7.
Pulihnya nilai indeks tersebut disebabkan oleh kegiatan ekonomi yang mulai berjalan kembali setelah ekonomi Indonesia sebelumnya tertahan sementara akibat penyebaran virus COVID-19.
Data PMI juga menyebutkan bahwa baik output maupun permintaan baru domestik kembali tumbuh sepanjang September lalu. Namun, permintaan ekspor masih lemah menyusul gejolak global dan tingginya penyebaran kasus di banyak negara.
Indeks manufaktur PMI adalah cerminan dari produktivitas sektor manufaktur di Indonesia. Sehingga, kenaikan indeks tersebut menjadi indikasi bahwa sektor tersebut tengah jor-joran selama bulan September. Apalagi, indeks PMI Indonesia berada di atas skor 50, alias menunjukkan ekspansi.
Pulihnya produktivitas manufaktur dapat berdampak baik bagi penciptaan lapangan kerja baru dan kenaikan pendapatan masyarakat.
Senat Amerika Serikat melolokan Rancangan Undang-Undang Pendanaan Jangka Pendek agar pemerintah AS lepas dari bayang-bayang shutdown. Meski begitu, AS belum lepas dari ancaman gagal bayar alias default lantaran kongres belum menyetujui kenaikan batas utang.
UU pendanaan ini memastikan AS memiliki ketersediaan dana untuk beroperasi hingga tahun anggaran berakhir yakni 3 Desember mendatang.
Tak hanya mendanai operasional pemerintah, UU juga menyediakan pendanaan US$28,6 miliar untuk pemulihan pasca bencana alam dan US$ 10 miliar untuk menutupi kerugian petani yang mengalami gagal panen. Terdapat pula anggaran untuk membantu pemulihan pengungsi Afghanistan senilai US$ 6,3 miliar.
Meskipun terhindar dari shutdown, namun ancaman gagal bayar justru merupakan ancaman yang lebih serius bagi perekonomian dunia. Jika AS sampai mengalami default, maka ini akan menjadi kali pertama bagi AS gagal bayar kewajibannya, yang tentunya akan memiliki efek serius bagi pasar keuangan seperti lonjakan suku bunga karena runtuhnya kepercayaan investor terhadap pemerintah AS.
Netflix Inc dengan kode emiten NFLX ditutup menguat 1,9% di angka US$610,34 per lembar saham. Ini merupakan level tertingginya sejak melantai di bursa Nasdaq 2002 lalu.
Popularitas seri terbaru Netflix yakni Squid Game mengantarkan NFLX tutup hijau saat pasar secara umum sedang loyo. Netflix yang semula berniat menghentikan seri Squid Game satu season saja kini mengakui bahwa pihaknya berencana memproduksi season 2 dengan investasi yang lebih mumpuni.
Menguatnya saham Netflix membuktikan bahwa emiten perusahaan teknologi masih berjaya di tengah melemahnya indeks saham Wall Street beberapa hari terakhir. Hal ini bisa memicu investor untuk fokus ke saham-saham berkategori growth stock dalam beberapa waktu ke depan.
Sumber: Investor Bussines Daily, Kontan, Berita Resmi Statistik, CNBC
Fathia Nurul Haq
Fathia Nurul Haq
Bagikan artikel ini