Rangkuman kabar hari ini, Selasa (28/9) menyajikan sejumlah update dari dalam negeri dan manca negara.
Yuk, simak selengkapnya di rangkuman kabar berikut!
Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) bersama pemerintah mengesahkan target pertumbuhan dan asumsi makro tahun anggaran 2022. Sejumlah item mengalami perubahan, salah satunya target pertumbuhan ekonomi yang semula disepakati di rentang 5-5,5% kini ditargetkan di angka 5,2%.
Adapun asumsi lain seperti target inflasi 3%, nilai tukar rupiah Rp14.350 per US$ dan asumsi harga minyak mentah Indonesia US$63 per barel tidak mengalami perubahan. Banggar DPR juga tidak mengubah target pembangunan dari rencana awal yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2022.
Perubahan asumsi pertumbuhan ekonomi akan mempengaruhi seluruh komponen anggaran dan belanja pemerintah. Dengan kata lain, jika asumsi pertumbuhan ekonomi APBN turun, maka proyeksi penerimaan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga akan turun.
Maka dari itu, jika pemerintah tidak mengubah postur belanjanya, bisa jadi defisit APBN semakin lebar dan pemerintah akan menambalnya dengan menambah utang.
Namun, nilai belanja pemerintah yang lebih besar dari penerimaan merupakan bukti bahwa pemerintah tengah mengambil kebijakan anggaran ekspansif. Kenaikan belanja pemerintah diharapkan bisa menopang pertumbuhan ekonomi mengingat hal itu adalah satu dari empat komponen utama pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan tingkat inklusi keuangan di Indonesia mencapai 90% di tahun 2024. Artinya, 90% masyarakat Indonesia sudah melek produk dan jasa keuangan.
Berdasarkan data terakhir, di tahun 2020 tingkat inklusi keuangan sudah mencapi 81,4%. Terjadi peningkatan signifikan dari tingkat inklusi keuangan di tahun 2013 yakni 59,74%.
Meningkatnya inklusi keuangan merupakan indikasi bahwa akses terhadap layanan jasa dan produk keuangan semakin dekat dengan masyarakat. Jika masyarakat sudah bisa mengakses produk perbankan, maka hal itu bisa membantu mengerek pertumbuhan ekonomi.
Sebagai contoh, tingkat kepahaman masyarakat yang mumpuni terkait jasa keuangan akan membuat mereka berani mengambil kredit, baik kredit usaha maupun kredit konsumsi. Dua hal tersebut (investasi dan konsumsi) adalah dua faktor penting pembentuk PDB.
Harga acuan minyak mentah berjangka Brent menembus level US$80,58 per barel, level tertinggi sejak Oktober 2018
Sejak minggu lalu hingga hari ini, Brent terus mengalami kenaikan harga selama enam hari berturut-turut. Hari ini saja tercatat harga Brent untuk pengiriman November mengalami kenaikan hingga 1,8%.
Kenaikan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka US West Texas Intermediate (WTI) sebesar 1,4% menjadi US$76,51 per barel.
Sebagai perbandingan, level tersebut berada jauh di atas target harga minyak mentah Indonesia yakni US$63 per barel.
Kenaikan harga minyak mentah dunia bisa memicu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Namun, kenaikan harga BBM selama ini adalah biang keladi inflasi. Kehadiran inflasi energi di tengah upaya pemulihan ekonomi nasional hanya akan menjadi duri dalam daging. Sebab, bank sentral tentu akan mempertimbangkan untuk mengetatkan kebijakan moneternya meski ekonomi dalam negeri belum bertumbuh sesuai harapan.
Selain itu, kenaikan harga minyak juga akan membuat realisasi subsidi BBM pemerintah lebih besar dari target. Namun, di saat yang sama, pemerintah juga bisa mengantongi Pajak Penghasilan (PPh) migas dan PNBP migas dengan lebih tebal.
Baca juga: Apa Pengaruh Pelemahan Ekonomi Global dengan Turunnya Harga Minyak Dunia?
Sebanyak 17 provinsi di China mengalami pemadaman listrik bergilir akibat krisis energi selama 4 hari berturut-turut. Penyebabnya adalah gangguan rantai pasok batu bara, apalagi 60% ekonomi China sangat bergantung dengan barang tambang tersebut.
China juga terpaksa mengurangi impor batu bara di tengah perselisihan dagang dengan Australia. China berupaya mengganti pasokan batu bara dari Rusia, Mongolia dan Indonesia untuk menangkal efek perang dagang terhadap keberlangsungan pasokan energi di negaranya.
Krisis energi di China merupakan peluang besar bagi industri batu bara Indonesia untuk menggenjot volume ekspor ke China. Apalagi, harga batu bara saat ini tengah mengalami kenaikan yang akan menguntungkan nilai jual batu bara.
Namun di sisi lain, pemadaman listrik China juga bisa berdampak ke produksi manufaktur global. Terlebih China merupakan salah satu pemain ekonomi terbesar di dunia.
Sumber: Reuters, CNBC Indonesia, Tempo
Bagikan artikel ini