Tak terasa akhir 2025 ini menjadi tahun terakhir dari bullish cycle Bitcoin (BTC) yang telah dimulai sejak 2022 saat harganya sempat menyentuh titik terendah di level $15.6k. Kini, BTC telah berada di level $105.4k (per 2 Juli 2025) yang menandai kenaikan lebih dari 600% dalam kurun waktu sekitar hampir 4 tahun.
Selain halving moment yang dimulai pada 20 April 2024, di mana block reward turun dari 6.25 menjadi 3.125 BTC, kehadiran ETF BTC pada 10 Januari 2024 dengan inflow kumulatif mencapai $141bn hingga Mei 2025. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi positif dari investor institusi membuat reli BTC lebih solid.
Total flow to ETF BTC (2024 – May 2025) | Sumber : CoinGlass
Namun demikian, di balik proyeksi positif para investor terhadap laju harga BTC ke depannya, tentu terdapat risiko yang cukup besar. Risiko terbesar itu adalah FAILURE atas adopsi dan adaptasi BTC dalam sistem keuangan yang berujung pada turunnya kepercayaan investor sehingga harga BTC kembali terkoreksi signifikan.
So, apa saja faktor yang bisa mengakibatkan BTC Downturn? Dan bagaimana strategi untuk mengatasinya? Let’s check it out!
Sejak mencapai titik terendahnya di level $15.6k pada November 2022, hanya butuh waktu ~2 tahun bagi BTC untuk kembali mencetak ATH di level $112k pada Mei 2025. Comeback ini bukanlah hanya didasarkan pada hype dan narasi semata, melainkan oleh beberapa faktor berikut :
- Spot ETF BTC - yang disetujui pada awal 2024 sehingga membuka akses bagi investor institusi serta lebih banyak investor ritel. Tercatat telah ada 11 institusi yang memiliki ETF BTC, misalnya BlackRock’s I Shares Bitcoin Trust (IBIT), ARK21 Shares Bitcoin ETF (ARKB), dan lainnya..
- Bitcoin Halving – yang terjadi pada April 2024 dan memangkas miners reward dari 6.25 menjadi 3.215 BTC sehingga membuat supply makin terbatas dan memperkuat laju kenaikan.
- Fiat Concern – yang berawal dari tingginya utang AS dan ketidakstabilan politik sehingga membuat nilai dolar AS sebagai salah satu safe haven turun hingga -10%YTD dan membuat BTC menjadi lebih menarik.
- Digital Gold – yang mana narasi ini masih dipercaya oleh banyak investor bahwa BTC adalah representasi emas digital sehingga cenderung diburu saat pasar keuangan sedang ‘sakit’. Thus, posisi harga BTC yang kini >$100k sebenarnya adalah hal yang sangat wajar mengingat supply < demand. Tapi, ada beberapa blindspot yang mampu membuat BTC berbalik arah dalam jangka pendek - menengah, antara lain :
- Negative Sentiment (FUD dan Whale Selling) - BTC tetaplah aset yang sangat sensitif terhadap perubahan berbagai narasi di pasar. Negative headlines, misalnya kejadian hacking, tuntutan dari pihak lain, panic tweets hingga aksi jual oleh institusi besar tertentu dapat menekan harga BTC dengan cepat.
- Kebijakan The Fed (Rate Hikes dan QT) - Nature BTC sebagai aset berisiko sangat dipengaruhi juga oleh arah suku bunga Bank Sentral – khususnya The Fed. Jika suku bunga AS (FFR) cenderung naik ataupun kebijakan moneter cenderung ketat, maka laju BTC juga tertekan.
- Hambatan Regulasi - Hal ini juga yang menjadi tantangan BTC di hampir sebagian besar negara, misalnya dari SEC, IRS hingga FATF. Regulasi ketat ini meliputi banyak aspek mulai dari kebijakan perpajakan, izin daftar exchange dan lainnya yang dapat membuat hambatan besar bagi adopsi BTC.
- Kasus Leverage dan Likuidasi - Umumnya di fase bull market, akan makin banyak investor dan trader yang memanfaatkan fasilitas leverage secara maksimal. Ketika harga BTC berbalik arah, maka aksi likuidasi secara masal bisa terjadi dan mengakibatkan koreksi BTC secara masif layaknya kejadian pada Mei 2021 dan November 2022.
- Altcoin Season - Jika diamati, kini BTC Dominance berada di level 64% yang menandakan bahwa lebih banyak investor yang cenderung ‘berotasi’ ke BTC dibandingkan ke Altcoin. Namun, kalau kondisi ini berbalik arah di mana Altcoin season telah dimulai, maka rotasi investor bisa berubah meninggalkan BTC.
BTC Dominance Chart | Sumber : Coinmarketcap.com
Penurunan harga BTC dalam jangka pendek – menengah mungkin masih bisa ditoleransi oleh beberapa investor. Apalagi BTC telah muncul sejak Januari 2009 dengan tingkat drawdown terbesar yang sempat mencapai ~87% pada 2014 silam.
Namun, tak menutup kemungkinan kalau seandainya BTC mengalami kolaps yang menjadi risiko jangka panjang (risiko structural) dan disebabkan oleh beberapa faktor berikut :
Worth to note, keamanan jaringan BTC sangatlah bergantung pada kualitas dan integritas Blockchain. Studi dari Cornell University (2018) menuliskan bahwa ada ancaman quantum computing yang bisa saja merusak kriptografi BTC walaupun kemungkinan tersebut relatif minim.
Jika global exchange mengalami kebangkrutan akibat kasus hack atau likuiditas yang terlalu ketat, maka BTC pun ikut terseret turun. Hal ini seperti yang terjadi pada 2022 saat FTX bangkrut sehingga melenyapkan uang investor hingga miliaran. Kejadian itu berujung pada sell off BTC hingga $2 miliar.
Kalau beberapa negara besar layaknya EU, China dan India menerapkan larangan terhadap kripto atau bahkan melabeli BTC sebagai national security threat, maka adopsi BTC pun berkurang signifikan.
Beberapa stablecoin layaknya Tether (USDT) dan USD Coin (USDC) menjadi basis dari ekosistem kripto. Kalau stablecoin tersebut gagal untuk mempertahankan kekuatan 1:1 peg yang disebabkan oleh mismanagement ataupun redemption secara masif, maka BTC juga akan menjadi ‘korban’.
Salah satu nilai plus BTC yakni first mover. Namun, keunggulan tersebut bisa saja hilang dan digantikan oleh blokchain lain yang memang mampu lebih unggul dari segi kecepatan, jangkauan hingga efisiensi energi. Contohnya saja project yang dijalankan Cardano ataupun Polkadot berpotensi untuk menarik minat lebih banyak investor dibandingkan BTC.
Walaupun BTC membuktikan selalu berhasil comeback dengan mencetak level ATH yang baru, namun investor sebijaknya tetap mengantisipasi jika ada room for error yang mengharuskan untuk ambil aksi berbeda.
Beberapa faktor yang mampu membalikkan arah BTC, mulai dari perkembangan teknologi yang tidak sesuai harapan hingga hambatan regulasi wajib diperhitungkan. Apalagi jika investor memang memiliki time horizon investasi yang amat panjang.
Oleh karena itu, diversifikasi investasi serta pengamatan terhadap kondisi makro ekonomi adalah 2 hal penting yang harus selalu dilakukan investor.
Download aplikasi Pluang untuk investasi di 1000+ pilihan aset yang mencakup Saham AS & ETF, Options Trading untuk Saham AS & ETF, Aset Crypto, Crypto Futures, Emas, dan juga puluhan produk Reksa Dana, semua mulai dari Rp10.000 saja! Di Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena Pluang sudah bekerja sama dengan mitra-mitra tepercaya yang memiliki izin dan diawasi oleh lembaga pemerintah terkait. Yuk, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Marcella Kusuma
Marcella Kusuma
Bagikan artikel ini