Pada 20 Januari 2025, di tengah perhatian dunia terhadap pelantikan Donald Trump, Tiongkok secara diam-diam meluncurkan DeepSeek R1, model bahasa besar (LLM) open-source berkinerja tinggi dengan biaya jauh lebih rendah dibandingkan pesaingnya. DeepSeek diklaim mampu menyaingi atau bahkan melampaui ChatGPT-4 dari OpenAI, meskipun biaya pengembangannya masih menjadi perdebatan—diperkirakan antara $6 juta hingga $1 miliar. Dampak peluncuran ini langsung terasa: Nasdaq anjlok 3,1%, sementara S&P 500 turun 1,5%.
Kemunculan DeepSeek menjadi bukti terbaru dari ketatnya persaingan AI antara AS dan Tiongkok. Sejak 2017, kedua negara semakin bersaing dalam teknologi melalui tarif, kontrol ekspor, dan pembatasan pasar. Kemajuan pesat AI Tiongkok kembali memicu perdebatan mengenai efektivitas kebijakan ekspor chip AS, yang menurut beberapa kritikus justru mempercepat inovasi dalam negeri Tiongkok. Meskipun Tiongkok memiliki keterbatasan akses terhadap chip tercanggih, negara ini telah menemukan cara untuk mengatasi hambatan tersebut, baik dengan meningkatkan efisiensi maupun dengan menggunakan kuantitas sebagai kompensasi atas kualitas yang lebih rendah.
Namun, apabila sobat cuan melirik kebelakang sebenarnya persaingan tech antara China dan AS sudah berlangsung sejak lama. Sebagai buktinya pada tahun 2023, salah satu perusahaan China yakni Huawei mengeluarkan R&D expense yang sangat besar atau 23% dari total sales sebesar $100 miliar di tahun 2023. Tujuan perusahaan melakukan ini agar bisa meluncurkan produk yang bagus dan tidak kalah saing dengan produk AS. Hal ini tidak luput karena pemerintahan Amerika Serikat dan sekutunya terus memperketat sanksi dan pembatasan perdagangan terhadap Tiongkok, dengan alasan bahwa kemajuan chip dan AI di negara tersebut dapat menjadi ancaman keamanan.
R&D to Sales Ratio | Sumber: Reuters
Menghadapi sanksi perdagangan selama bertahun-tahun, Beijing telah mengucurkan miliaran dolar dalam bentuk subsidi, hibah penelitian, insentif pajak, dan pinjaman murah untuk memperkuat industri teknologi domestiknya. Huawei, raksasa teknologi berbasis di Shenzhen, memimpin upaya ini dengan pengembangan chip canggih, termasuk prosesor 2019 yang mampu menyaingi Nvidia dan chip Mate 60 Pro tahun 2023 yang menjadi simbol keberhasilan Tiongkok dalam memproduksi semikonduktor buatan dalam negeri.
Kemajuan ini menunjukkan bagaimana Tiongkok berhasil menemukan solusi alternatif dalam menghadapi pembatasan dari negara-negara Barat terhadap pengembangan teknologi chip dan kecerdasan buatan (AI). Taruhannya bukan hanya soal persaingan teknologi, tetapi juga potensi peningkatan ekonomi hingga $6 triliun per tahun, berdasarkan estimasi McKinsey. Selain itu, Presiden Xi Jinping telah menjadikan pengembangan AI di sektor militer sebagai prioritas utama, termasuk untuk senjata tanpa awak dan pemrosesan data, guna menjadikan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) sebagai kekuatan militer kelas dunia.
Alasan kedua mengapa China memilih untuk mengembangkan chip nya sendiri karena dari sisi manufaktur chip, Tiongkok menghadapi tantangan besar dari para pemain global yang berpihak ke Barat, seperti Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) dan pembuat peralatan litografi asal Belanda, ASML. Sehingga hampir mustahil bagi China untuk bisa menggunakan Chip buatan mereka. China sendiri memiliki perusahaan Semiconductor Manufacturing International Corporation (SMIC), yang telah mencetak beberapa pencapaian penting, termasuk memproduksi massal prosesor 7-nanometer Huawei pada 2023, sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil karena keterbatasan teknologi.
Bagi Asia, persaingan AI dan Tech ini menjadi pedang bermata dua. Model AI open-source berbiaya rendah dari Tiongkok dapat mempercepat inovasi dan kewirausahaan di negara berkembang, namun juga meningkatkan tekanan pada perusahaan AI tertutup seperti OpenAI untuk menyesuaikan model bisnis mereka. Sementara itu, pemerintahan Trump telah meluncurkan Stargate Project, sebuah proyek infrastruktur AI senilai $500 miliar, yang merupakan investasi AI terbesar dalam sejarah AS. Tiongkok pun tidak tinggal diam, dengan proyeksi investasi lebih dari 10 triliun yuan ($1,4 triliun) dalam teknologi hingga 2030. Jika dikelola dengan baik, investasi ini dapat menciptakan lapangan kerja dan mendorong kolaborasi riset AI global antara universitas, laboratorium AI, dan startup.
Namun, persaingan teknologi AS-Tiongkok juga berisiko memperdalam perpecahan global, memaksa negara-negara Asia untuk bersikap hati-hati dalam menavigasi kerja sama riset dengan Tiongkok tanpa membahayakan hubungan dengan AS. Sebagai contoh, Korea Selatan, produsen semikonduktor terbesar kedua di dunia, semakin bergantung pada Tiongkok untuk lima dari enam bahan baku utama dalam produksi chip. Perusahaan besar seperti Toyota, SK Hynix, Samsung, dan LG Chem tetap rentan terhadap dominasi rantai pasokan Tiongkok. Ancaman gangguan rantai pasokan saja sudah cukup untuk membuat Korea Selatan berpikir ulang sebelum sepenuhnya berpihak pada AS dalam perang teknologi ini.
Download aplikasi Pluang untuk investasi Saham AS, emas, ratusan aset kripto dan puluhan produk reksa dana mulai dari Rp10.000 dan hanya tiga kali klik saja! Dengan Pluang, kamu bisa melakukan diversifikasi aset dengan mudah dan aman karena seluruh aset di Pluang sudah terlisensi dan teregulasi. Ayo, download dan investasi di aplikasi Pluang sekarang!
Marcella Kusuma
Marcella Kusuma
Bagikan artikel ini