Terdapat empat konsep utama yang perlu diketahui investor dalam berinvestasi sebagai berikut:
Kamu mungkin pernah mendengar konsep bunga majemuk (compound interest) atau imbal hasil majemuk (compound returns). Menurut konsep ini, kita akan memperoleh pendapatan bunga dari investasi awal kita di mana pendapatan bunga itu akan menghasilkan pendapatan bunga berikutnya dan bunga akan terus menghasilkan bunga sehingga cuan yang kamu dapatkan bisa tumbuh secara eksponensial.
Sebagai contoh, anggap saja kamu berinvestasi Rp10 juta dan membiarkannya tumbuh selama 30 tahun. Berapa nilai uang yang bisa kamu dapatkan pada akhir periode tersebut dengan asumsi imbal hasil 5%, 10% atau 15%? Jawabannya bisa kamu temukan di grafik berikut:
Dari gambar di atas, kamu bisa melihat bahwa perubahan tingkat bunga majemuk yang relatif kecil akan menghasilkan perubahan yang besar terhadap nilai pokok investasi setelah 30 tahun. Nilai akhir portofolio investasi dengan tingkat imbal hasil 15% sekitar 14 kali lipat dari portofolio yang memiliki tingkat imbal hasil 5%.
Kondisi di atas mencerminkan aturan pertama dari konsep keuangan: Waktu adalah sahabat terbaik saat aset berkembang sebab penghitungan bunga majemuk memungkinkan imbal yang berlipat.
Sobat Cuan bisa menggunakan aturan 72 (Rule of 72) untuk melihat dampak dari bunga majemuk terhadap nilai pokok investasi. Dengan menggunakan aturan ini, kamu akan mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk menggandakan investasimu.
Sebagai contoh, anggap kamu berinvestasi di satu aset yang memiliki imbal hasil 10% per tahun. Maka, kamu perlu berinvestasi di aset tersebut selama 7,2 tahun agar nilai pokok investasi menjadi dua kali lipat, seperti dijelaskan di dalam rumus berikut:
Jika ingin menggandakan uang dalam tiga tahun saja maka kamu harus menempatkan dana di instrumen yang memiliki tingkat imbal hasil 24% per tahun.
Sobat Cuan bisa melihat rata-rata pertumbuhan nilai kelas-kelas aset utama dalam 10 tahun terakhir pada grafik di bawah ini. Terlihat bahwa di luar aset kripto, global equities atau saham-saham global yang memiliki kinerja paling paling tokcer dibandingkan kelas aset lainnya.
Dengan rerata imbal hasil 20,2% per tahun, kamu bisa menggandakan uangmu hanya dalam 3,6 tahun jika menempatkan dana di saham global. Atau dengan kata lain, uang US$1 bisa menjadi $2 setelah 3,6 tahun dan akan menjadi $4 setelah 7,2 tahun dari awal investasi dan menjadi $8 setelah 10,8 tahun dari pertama kali $1 ditanamkan.
Bitcoin dan aset kripto lainnya telah mencetak imbal hasil yang mencengangkan namun 10 tahun yang lalu aset ini masih penuh ketidakpastian dan diragukan kemampuan bertahannya. Baru beberapa tahun terakhir inilah aset kripto diperhitungkan sebagai kelas aset investasi.
Kamu mungkin pernah mendengar istilah “Tidak ada makan siang gratis” . Konsep ini berlaku di dunia keuangan, di mana potensi cuan yang lebih besar datang bersama dengan risiko yang lebih tinggi.
Risiko adalah ketidakpastian akan hasil akhir yang diperkirakan dari sebuah kejadian tertentu. Misalnya investor yang telah menanam modal awal dalam sebuah perusahaan mungkin berpikir bahwa nilai perusahaan tersebut saat penawaran perdana sahamnya ke umum akan mencapai US$1 miliar. Namun saat para analis saham menilai perusahaan tersebut, angka yang mereka dapatkan berada dalam rentang US$500 juta hingga US$1,5 miliar.
Semakin lebar rentang hasil akhir yang mungkin didapatkan maka semakin tinggi pula resiko investasi tersebut.
Contoh lain adalah apabila kamu memutuskan membeli obligasi pemerintah bertenor satu tahun (akan jatuh tempo setelah satu tahun) senilai Rp1 juta yang menjanjikan imbal hasil 5%. Mengingat investasi obligasi pemerintah tidak berisiko tinggi, maka kamu pasti akan mendapatkan imbal hasil di angka tersebut. Dengan kata lain, di luar kejadian bahwa pemerintah RI akan bangkrut, nilai investasi tidak akan berkembang menjadi Rp1,06 juta atau sebaliknya melorot menjadi Rp1,04 juta, kamu hanya akan memperoleh 1,05 juta saat jatuh tempo. Hasil akhir yang didapatkan sangat dapat diperkirakan.
Sebaliknya jika kamu menaruh dana tersebut di aset kripto, investasi sebesar Rp1 juta tersebut bisa menjelma antara Rp100.000 hingga Rp10 juta. Besar kemungkinan bahwa harga aset kripto yang kamu genggam tidak akan bernilai Rp1 juta lagi di masa depan, sehingga membenamkan dana di aset tersebut bisa dikatakan sebagai investasi yang “lebih berisiko”.
Semua investor sangat khawatir dengan risiko jatuhnya nilai portofolio. Jika nilainya habis terhapus maka kita telah kehilangan modal untuk berinvestasi selanjutnya. Dan jika kamu menarik 50% pokok investasi pertamamu, maka kamu akan membutuhkan tingkat imbal hasil 100% dari sisa yang ditanamkan agar investasi balik modal.
Hanya saja meraih tingkat imbalan 100% adalah hal yang sukar. Karenanya investor cenderung bersikap bukan saja menghindari risiko (risk-averse) namun juga menghindari kerugian (loss-averse) ketika berinvestasi.
Jika kamu pernah mendengar perkataan “Jangan taruh seluruh telurmu di satu keranjang”, maka maksud kalimat itu adalah diversifikasi.
Dalam berinvestasi, diversifikasi adalah aksi menempatkan dana di beberapa aset yang nilainya akan meningkat saat nilai aset lain dalam portfolio tersebut menurun. Sebagai contoh pada saat krisis keuangan global lebih dari satu dekade lalu, harga emas meroket dan harga saham sebaliknya terjun bebas. Investor berebutan untuk melepas saham dan menukarnya untuk aset-aset yang dianggap aman (safe haven).
Jadi, jika kamu berinvestasi di emas dan saham pada saat itu, maka penurunan nilai portofolio mu tidak akan sedalam ketika kamu berinvestasi di saham saja.
Pada dasarnya, berinvestasi bertujuan untuk mencapai “keseimbangan” yang baik antara kelas-kelas aset utama: emas, instrumen berpendapatan tetap, aset kripto, dan ekuitas (baik saham global seperti Facebook maupun saham domestik seperti BCA). Hasil penelitian akademik menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, portofolio yang terdiversifikasi mampu menghasilkan imbal hasil yang lebih tinggi dan risiko yang lebih rendah bagi investor.
Sobat Cuan bisa menengok diagram portofolio di bawah ini untuk memahami konsep diversifikasi. Di dalam portofolio ini, sang investor telah menempatkan 35% dananya di aset-aset dengan sifat “bertahan”, yakni emas dan instrumen berpendapatan tetap, yang kinerjanya diharapkan tetap moncer kala suku bunga menurun.
Di saat bersamaan, sang investor juga membenamkan 65% investasinya di instrumen saham. Ia memilih untuk mengalokasikan sebagian besar dananya di pasar saham Amerika Serikat (S&P 500) ketimbang pasar saham domestik (IDX) di sini dengan rasio 50%:15%.
Alasannya adalah karena saham-saham AS adalah salah satu kelas aset dengan kinerja mumpuni. Rerata tingkat imbal hasilnya mencapai 17% hingga 18% per tahun dalam lima tahun terakhir, yang didorong oleh kuatnya kinerja perusahaan-perusahaan yang memiliki monopoli data seperti Facebook.
Pada contoh di atas sang investor telah lebih mengikuti gaya diversifikasi klasik 60:40 yang populer yaitu 60% dana di saham dan 40% di instrumen obligasi. Bagaimanakah bentuk portofolio yang sesuai jika sang investor berniat mengikutsertakan aset kripto di dalamnya?
Sebagai sebuah kelas aset, cryptocurrency memiliki pertumbuhan nilai yang mantap sejak Bitcoin diluncurkan 2009 silam. Kendati demikian, banyak investor yang masih belum paham ihwal seluk beluk aset kripto, sehingga mereka memilih untuk menjauh dari aset digital tersebut lantaran ketar-ketir dengan volatilitas harganya.
Di bawah ini, Sobat Cuan bisa melihat imbal hasil portofolio sang investor jika ia menyisihkan 5% hingga 20% portofolionya untuk aset kripto.
Gambar di atas menunjukkan bahwa investor bisa meningkatkan imbal hasil untuk tingkat resiko tertentu atau menaikkan imbal hasil yang telah disesuaikan resiko (risk-adjusted returns), dengan melakukan diversifikasi. Portofolio yang memiliki 10% dan 20% investasi dalam aset kripto memberikan imbal hasil masing-masing 2,2 dan 2,3 kali untuk setiap unit risikonya. Unit risiko dihitung berdasarkan volatilitas harganya dalam setahun (annualized volatility).
Sobat Cuan bisa melihat bahwa diversifikasi bisa dilakukan pada beberapa tingkatan misalnya diversifikasi antar kelas aset (apakah saya memiliki cukup saham untuk menyeimbangkan emas saya?) dan diversifikasi di dalam satu kelas aset tertentu (apa sajakah industri perusahaan yang saya miliki sahamnya?) . Lebih lanjut, diversifikasi juga bisa dilakukan berdasarkan batas geografis (saham AS versus saham Indonesia) dan berdasarkan mata uang (Dolar AS versus Rupiah). Diversifikasi sebaiknya dilakukan dalam beberapa lapisan.
Untungnya, kini kamu bisa melakukan berbagai macam gaya diversifikasi di aplikasi Pluang!
Di Pluang, kamu bisa membangun portofolio yang telah terdiversifikasi secara global hanya dalam satu aplikasi saja. Pilihan asetmu tidak terbatas pada reksa dana saham Indonesia dan emas namun kamu bisa lebih luas berinvestasi dalam pasar ekuitas global dan aset kripto. Dengan menempatkan investasimu di dalam satu aplikasi, maka kamu akan lebih mudah untuk memantau dan memahami tingkat imbal hasil yang diperoleh. Selain itu, melakukan diversifikasi dalam satu tempat aplikasi akan menghemat waktumu!
Dollar Cost Averaging (DCA) adalah strategi investasi di mana investor secara teratur menempatkan sejumlah uang tertentu untuk meningkatkan kepemilikan suatu aset.
Sebagai contoh, misalkan seorang investor memutuskan untuk mengalokasikan uang US$3.000 per tahun dari tahun 2016 sampai 2021. Aset yang dipilih adalah produk S&P 500 di Pluang dan dia berketetapan untuk melakukan ini setiap tanggal 30 Juni. Lantas berapa nilai portofolionya dari strategi Dollar Cost Averaging ini?
Pertama, kita bisa melihat pergerakan harga indeks S&P 500 di Pluang.
Berdasarkan data harga tersebut, berapa jumlah unit indeks S&P 500 yang bisa kamu beli di Pluang menggunakan uang US$3.000 setiap tahunnya? Jawabannya ada di tabel berikut.
Manfaat utama dari strategi Dollar Cost Averaging adalah saat tren harga yang meningkat, kamu bisa membeli aset dengan harga rata-rata yang relatif lebih rendah. Berinvestasi dengan nilai yang sama secara rutin akan memungkinkan kamu untuk membeli lebih banyak saat harga sedang murah. Begitu pun sebaliknya, kamu akan membeli aset lebih sedikit ketika harganya sedang menanjak.
Selain itu, kamu pun bisa memupuk sikap disiplin dalam berinvestasi dengan menerapkan strategi Dollar Cost Averaging. Aspek terpenting dari investasi adalah kebiasaan disiplin dan membiarkan waktu yang mengerjakan selanjutnya.
Kamu bisa melakukan strategi Dollar Cost Averaging di aplikasi Pluang dengan memanfaatkan fitur auto-invest. Dengan fitur tersebut, kamu bisa menjadwalkan investasimu secara rutin dan otomatis berdasarkan harian, mingguan, atau bulanan. Pluang menyarankan kamu untuk berinvestasi rutin di tanggal gajian sehingga kamu bisa mendulang imbal hasil maksimal sebelum kamu menggunakan uang tersebut.
Bagikan artikel ini