Jaringan Solana terbilang hits di tahun 2021 sebagai platform smart contract anyar yang siap menggeser dominasi Ethereum. Seperti apa seluk beluk jaringan Solana? Simak selengkapnya di artikel berikut!
Solana adalah jaringan lapisan 1 blockchain berbasis teknologi smart contract yang berniat menjadi "pembunuh Ethereum". Uniknya, jaringan ini memanfaatkan delapan inovasi blockchain, misalnya sistem timestamp bernama Proof of History yang digadang bisa memproses 65.000 transaksi per harinya, plus beberapa inovasi lainnya.
Kemudian, berbeda dengan platform smart contract lain seperti Ethereum dan Polkadot, jaringan Solana bisa mencapai tingkat skalabilitas mumpuni hanya di blockchain lapisan 1 saja tanpa harus mendelegasikan sebagian beban transaksinya ke blockchain lapisan kedua.
Namun, kenapa jaringan yang didirikan oleh mantan insinyur Qualcomm, Intel, dan Dropbox di akhir 2017 ini disebut sebagai "pembunuh Ethereum"?
"Pembunuh Ethereum" adalah julukan bagi proyek-proyek blockchain yang punya impian untuk menyalip Ethereum sebagai pemain utama platform smart contract sejagat.
Awalnya, komunitas kripto tak benar-benar serius menganggap julukan tersebut lantaran belum ada bukti bahwa eksistensi Ethereum akan menghadapi ancaman nyata. Namun, pada pertengahan 2021, mereka perlahan percaya bahwa dominasi Ethereum sepertinya bakal segera terkalahkan oleh platform lain, utamanya oleh jaringan Solana.
Nah, pamor Solana yang meroket sebagai pemain utama kancah smart contract terjadi berkat sistem yang bernama Proof of History. Apakah itu?
Proof of History adalah "jam terdesentralisasi" alias sumber waktu tunggal dan terpercaya di jaringan blockchain, yang didesain untuk mengatasi masalah inkonsistensi pencatatan waktu transaksi. Namun, apa alasan Solana memanfaatkan sistem tersebut?
Asal tahu saja, salah satu masalah dari jaringan blockchain yang terdesentralisasi adalah keterangan waktu yang buram. Dalam artian, jaringan blockchain terdiri dari ribuan komputer yang saling terhubung satu sama lain untuk memverifikasi transaksi, namun masing-masing dari mereka menggunakan sistem waktunya sendiri dan tidak punya satu standar waktu yang digunakan.
Alhasil, masing-masing validator kemudian harus berkomunikasi lagi antara satu sama lain hanya demi menyepakati waktu transaksi yang digunakan sebelum memverifikasi transaksi dan memproduksi blok transaksi baru. Namun imbasnya, waktu verifikasi transaksi pun semakin lamban dan justru membuat arus transaksi di jaringan blockchain menjadi macet.
Sayangnya, masalah ini semakin parah seiring komputer yang terhubung di jaringan blockchain tumbuh dari angka ribuan menjadi jutaan. Hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa jaringan Bitcoin dan Ethereum hanya mampu menghasilkan blok transaksi baru masing-masing selama 10 menit dan 15 detik.
Nah, Proof of History hadir untuk memecahkan masalah tersebut.
Dalam sistem ini, seluruh validator di dalam jaringan Solana menggunakan jam kriptografi untuk tetap update dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di jaringan tersebut. Akibatnya, masing-masing validator tak perlu lagi berkomunikasi satu sama lain untuk mencatat waktu transaksi yang dikehendaki. Sehingga, waktu verifikasi dan validasi transaksi di jaringan Solana bisa menjadi lebih cepat.
Untuk mempermudah pemahamanmu mengenai Proof of History, yuk simak analogi berikut.
Coba bayangkan jaringan blockchain sebagai taman bermain Disneyland, sementara proses transaksi di dalamnya sebagai cara untuk masuk ke lokasi tersebut.
Ketika Disneyland mengawali jam operasinya, pengelola taman bermain tersebut tentu akan membariskan pengunjung sesuai urutan agar semua orang bisa antre untuk masuk ke dalamnya. Untuk menentukan pengunjung yang bisa masuk ke Disneyland paling awal, petugas gerbang akan saling berkoordinasi satu sama lain terkait hal tersebut lewat radio.
Nah, hal itulah yang sejatinya terjadi di dalam jaringan blockchain normal, seperti Ethereum. Namun, Solana punya mekanisme berbeda ketika mempersilakan pengunjung memasuki "taman bermainnya".
Dalam hal ini, jaringan Solana memiliki mesin cetak tiket di setiap gerbangnya. Setiap tiket mencantumkan keterangan waktu yang terdiri dari jam, menit, dan detik ketika sang pengunjung tiba di gerbang tersebut.
Nantinya, setiap pengunjung akan memasuki taman bermain Solana sesuai waktu yang termuat di dalam tiket tersebut. Oleh karenanya, setiap pengunjung tidak bisa begitu saja masuk ke Solana jika waktu yang tercantum di tiketnya lebih lambat dibanding pengunjung lainnya.
Hal di atas merupakan analogi yang sangat simpel atas sistem Proof of History. Jaringan Solana mencatat keterangan waktu setiap transaksi secara real-time, sehingga jaringan bisa terus memproses transaksi secara terus menerus tanpa perlu menunggu konfirmasi atas transaksi sebelumnya.
Hanya saja, keunikan jaringan Solana sejatinya bukan hanya terdapat di sistem Proof of History semata.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, Solana memanfaatkan delapan inovasi jaringan blockchain agar bisa memproses 65.000 transaksi per detik dan waktu penciptaan blok transaksi sebesar 400ms. Nah, kedelapan inovasi inilah yang menjadi daya tarik utama jaringan Solana ketimbang jaringan lainnya.
Delapan inovasi blockhain tersebut terinspirasi dari optimalisasi performa piranti lunak. Maklum, hal ini tak terlepas dari latar belakang tim pendiri jaringan yang bergulat di bidang teknologi piranti lunak.
Lebih lanjut, dengan berbekal inovasi tersebut, jaringan Solana tak perlu bergantung dengan "pecahan blockchain" atau solusi blockchain lapisan kedua untuk menjaga kecepatan dan skalabilitas transaksinya.
Selain Proof of History, lantas apa saja inovasi-inovasi blockchain yang terdapat di jaringan Solana? Yuk, temukan jawabannya berikut!
Jaringan Solana menggunakan algoritma konsensus bernama Tower Byzantine Fault Tolerance (BFT). Melalui algoritma ini, validator di jaringan Solana bisa melakukan verifikasi dan validasi transaksi dengan memanfaatkan sinkronisasi waktu yang diproses oleh sistem Proof of History.
Adapun manfaat Tower BFT adalah demi mengurangi banyaknya arus informasi dan kemacetan transaksi di jaringan Solana. Lho, kok bisa? Untuk memahaminya, mari simak konsep Tower BFT berikut.
Setiap kali node di dalam jaringan melakukan pemungutan suara terkait satu fork, maka pemungutan suara tersebut terbatas pada satu jangka waktu hash tertentu yang disebut dengan slot. Kemudian, jaringan akan kembali ke kondisi semula (rollback point) setiap 400 ms.
Namun, setiap voting yang terjadi setelahnya kemudian akan memasuki rollback point setelah prosesnya memakan waktu dua kali lipat lebih lama dibanding voting sebelumnya.
Sebagai contoh, anggap saja setiap validator telah melakukan pemungutan suara 32 kali dalam 12 detik terakhir. Nah, voting 12 detik yang lalu tersebut akan memiliki timeout sebesar 400ms. Tetapi, jika validator melakukan voting setelahnya, maka timeout-nya akan memakan waktu 800ms kemudian.
Dalam jaringan blockchain lain, data terkait setiap blok transaksi baru akan dikirimkan oleh node utama ke node-node lain yang terdapat di jaringan tersebut. Kemudian, node-node tersebut akan menyimpan salinan blok transaksi baru tersebut di perangkatnya masing-masing.
Namun, aktivitas ini akan memakan waktu dan daya seiring berkembangnya kepadatan jaringan blockchain tersebut. Nah, untuk mengatasi hambatan yang dimaksud, Solana menggunakan protokol distribusi blok transaksi yang disebut dengan Turbine.
Turbine akan memecah data blok transaksi ke beberapa paket-paket data yang lebih mini, di mana masing-masingnya berukuran maksimal 64kb saja, untuk kemudian didistribusikan ke node-node lainnya. Setelah itu, paket-paket data ini nantinya akan diteruskan kembali ke node-node lainnya hingga seluruh pihak di dalam jaringan tersebut menggenggam data blok transaksi baru.
Sejauh ini, node utama di jaringan Solana akan menghasilkan 2.000 paket data, masing-masing sebesar 64kb, jika ukuran data transaksi tersebut berukuran 128 MB.
Seluruh 2.000 paket data itu kemudian akan ditransmisikan ke validator-validator berbeda. Setiap validator tersebut lantas akan mengirimkan kembali paket-paket data tersebut ke regu-regu node lainnya, masing-masing berisi 200 nodes, yang dijuluki neighborhood. Setiap neighborhood lalu bertanggung jawab untuk mengirimkan sebagian datanya ke tingkatan neighborhood yang lebih kecil.
Sebagai analogi, anggap saja terdapat seorang guru yang merangkum catatan-catatan pelajarannya di dalam satu kertas. Kemudian, ia menggunting catatan tersebut ke beberapa bagian dengan ukuran yang sama.
Setelah itu, sang guru kemudian akan membagikan potongan catatan tersebut ke seorang siswa yang duduk di bangku paling depan. Kemudian, siswa tersebut akan menyalin catatan tersebut dan kemudian menyerahkannya ke teman sebangkunya jika telah selesai menulis catatan pelajaran yang dimaksud. Aktivitas itu akan terjadi berulang kali sampai semua siswa di kelas bisa menyalin catatan pelajaran sang guru.
Di dalam jaringan Solana, setiap validator sudah mengetahui urutan-urutan node utama yang akan diproses. Nah, agar validasi transaksi bisa dengan cepat berpindah dari satu node utama ke node utama berikutnya, jaringan Solana memanfaatkan sistem yang bernama Gulf Stream.
Dengan Gulf Stream, klien dan validator di jaringan Solana bisa meneruskan transaksi ke node utama, bahkan sebelum waktu validasinya tiba. Sehingga, validator bisa mengeksekusi transaksi terlebih dulu, mengurangi waktu konfirmasi, dan mengurangi kapasitas memori mempools, yakni lokasi penyimpanan transaksi-transaksi yang belum terkonfirmasi atau tertunda di jaringan blockchain.
Sealevel adalah mesin pemroses transaksi yang didesain untuk memaksimalkan skalabilitas transaksi antar Graphic Processing Unit (GPU) dan perangkat penyimpanan komputer (Solid-state Drive/SSD) secara paralel.
Saat ini, hanya jaringan Solana saja yang mampu mengeksekusi transaksi secara paralel, hal itu tentu saja berkat kehadiran Sealevel. Dengan inovasi tersebut, Solana bisa memproses ribuan smart contract secara paralel alih-alih memprosesnya secara satu per satu.
Sebagai gambaran, di jaringan blockchain lain, setiap smart contract akan membaca atau menulis data melalui transaksi. Namun, jika pengguna menjalankan beberapa smart contract secara sekaligus melalui kegiatan transaksi yang berjumlah banyak, maka pengguna rentan terpapar risiko data error lantaran ia menyunting data yang sama di waktu bersamaan.
Untungnya, jaringan Solana memiliki inovasi Sealevel. Teknologi ini bisa menelusuri seluruh transaksi yang tidak tumpang tindih yang terjadi di satu blok transaksi. Sehingga, pengguna bisa mengeksekusi seluruh smart contract tersebut secara paralel.
Pipeline adalah aktivitas optimisasi pemrosesan validasi transaksi di jaringan Solana di komputer pengguna. Proses pipeline terjadi ketika terdapat data yang perlu diproses jaringan secara berurutan, namun masing-masing data tersebut tersimpan di perangkat komputer yang berbeda-beda.
Dalam jaringan Solana, sistem pemrosesan transaksinya (Transaction Processing Unit/TPU) akan mengambil data dalam bentuk paket-paket kecil dari tingkatan kernel, yakni penghubung piranti lunak aplikasi dengan perangkat keras komputer. Data-data tersebut kemudian akan diverifikasi di tingkatan GPU, disimpan di CPU, dan kemudian dicatat lagi di level kernel.
Cloudbreak adalah sebuah inovasi yang didesain untuk mengoptimalisasi memori SSD ketika pengguna memproses transaksi. Dengan kata lain, setiap memori penyimpanan di piranti lunak akan mendapatkan ekstra kapasitas memori secara on-chain.
Namun, mengapa Solana membutuhkan inovasi ini?
Sekadar informasi, setiap blockchain tentu membutuhkan skalabilitas komputasi yang besar. Namun, hal tersebut akan menyusutkan kapasitas daya penyimpanan, yang pada akhirnya akan menghambat kecepatan transaksi di jaringan Solana.
Nah, oleh karenanya, Solana menggunakan Cloudbreak untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sehingga, pengguna bisa memproses transaksi dengan lebih cepat sekaligus menambah pemrosesan beberapa data secara sekaligus.
Dalam kapasitas penuhnya, Solana diproyeksikan untuk memproses data seberat 1 Gigabyte (GB) per detik alias 4 juta GB, atau 4 Petabytes, data per tahun. Sebagai gambaran, ukuran data tersebut setara dengan flashdisk berukuran 1GB yang dijejali ke 368 lapangan bola. Ukuran data yang cukup besar bukan?
Nah, untuk bisa menampung kapasitas data tersebut, Solana melepas beban penyimpanan data validator ke sebuah jaringan berisi nodes disebut archivers.
Di jaringan Solana, data-data akan dipecah ke dalam beberapa bagian dan kemudian akan diproteksi melalui kodifikasi. Kemudian, para archivers akan menyimpan pecahan-pecahan data tersebut.
Namun, setelah itu, jaringan akan meminta para archivers untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar menyimpan data yang seharusnya mereka simpan. Hal ini dilakukan demi menjaga keamanan data yang berada di jaringan Solana.
Selain itu, mereka yang terlibat sebagai archivers tidak berpartisipasi di dalam konsensus.
Jaringan Solana memiliki satu token utilitas asli bernama SOL. Token tersebut punya tiga manfaat utama, di antaranya:
Meski berhasil naik daun sepanjang 2021 sebagai pesaing Ethereum, namun jaringan Solana tak lepas dari berbagai kontroversi terkait aspek fundamental teknologinya. Nah, berikut adalah tiga kecacatan fundamental di jaringan Solana yang selalu menjadi sorotan komunitas kripto.
Seperti yang disebut di atas, salah satu kelemahan Solana paling utama adalah seringnya jaringan dalam mengalami down. Berikut adalah daftar pemadaman mendadak yang pernah terjadi di jaringan Solana sejak September 2021.
Mungkin kamu berpikir bahwa pemadaman jaringan selama beberapa jam tidak akan menjadi masalah besar.
Hanya saja, Solana bukanlah situs internet biasa. Jaringan ini berisikan 100 aplikasi terdesentralisasi (dApps) yang seluruhnya menggantungkan hidup dari protokol Solana. Sehingga, jika jaringan Solana down, maka dampak negatifnya juga akan dirasakan ribuan pengguna dApps tersebut. Misalnya, pengguna tidak bisa melikuidasi aset kriptonya yang dikunci di aplikasi-aplikasi tersebut.
Tak hanya itu, namun nilai SOL juga bakal terjun bebas jika jaringan Solana terpantau offline.
Lantas, apa sebenarnya biang keladi yang menyebabkan jaringan Solana byar-pet berulang-ulang kali? Yuk, tengok alasannya secara lebih dekat.
Seluruh serangan di jaringan Solana, kecuali serangan di Wormhole, dipercaya bermula dari kelemahan fundamental di sistem Proof of History. Mengapa demikian?
Jaringan blockchain lainnya, misalnya Ethereum, menggunakan sistem algoritma non-deterministic ketika menghasilkan satu blok transaksi baru. Adapun sistem non-deterministic adalah proses penciptaan blok transaksi yang bisa menghasilkan output berbeda meski data-data input-nya terbilang sama.
Sistem penciptaan blok baru ini digadang punya aspek keamanan kuat dan punya sikap anti-sensor yang tinggi. Sebab, penggunanya tidak bisa memprediksi siapa saja yang bakal menghasilkan blok transaksi berikutnya. Sehingga, jika ada pengguna iseng yang ingin bikin sistem blockchain tersebut byar-pet, maka ia harus benar-benar menyerang sistem blockchain tersebut secara utuh.
Di sisi lain, Solana menggunakan sistem Proof of History, sebuah sistem yang punya mekanisme penciptaan blok baru yang bersifat deterministic. Namun, karena sistem ini memberi nomor urutan transaksi sesuai keterangan waktunya, maka beberapa pihak pun bisa memprediksi siapa-siapa saja produsen blok berikutnya di jaringan Solana.
Sehingga, jika terdapat oknum tak bertanggung jawab yang ingin membuat runyam satu jaringan Solana, maka ia akan melancarkan aksinya ke node-node utama transaksi tersebut alih-alih terhadap seluruh jaringan Solana.
Dengan kata lain, mereka yang punya niat jahat bisa membuat down jaringan Solana dengan mudah. Sebab, mereka bisa memadamkan jaringan Solana hanya dengan menyerang 100 produsen blok berikutnya alih-alih menyerang keseluruhan satu jaringan Solana!
Nah, kelemahan inilah yang mungkin membuat sistem Proof of History tidak dicontoh oleh jaringan lain. Namun, mengingat sistem Proof of History adalah bagian fundamental dari blockchain Solana, maka pemadaman jaringan sepertinya akan tetap terjadi kecuali jika sang pengembang mengubah cara kerja blockchain Solana.
Semua inovasi teknologi Solana, termasuk sistem Proof of History, adalah terobosan anyar di kancah blockchain. Sayangnya, inovasi-inovasi tersebut tidak didukung oleh kajian-kajian akademis yang cukup kuat.
Hal tersebut sejatinya bukan menjadi perhatian utama bagi sang pengembang blockchain. Namun, mengingat jaringan Solana yang padam berkali-kali, maka isu ini bisa berkembang menjadi sekumpulan masalah yang cukup serius di masa depan, di antaranya adalah:
Lembaga Grayscale Investment juga mengkategorikan perkara minimnya riset akademis ini sebagai risiko potensial dari jaringan Solana.
"Mekanisme konsensus Solana menggunakan teknologi blockchain anyar yang masih belum umum digunakan dan bahkan mungkin belum berfungsi seperti sesuai yang diinginkan. Mungkin ada beberapa kecacatan kriptografi yang berada di protokol Solana, termasuk kelemahan yang bisa mempengaruhi fungsi dari jaringan Solana, sehingga protokol tersebut sangat rentan terkena serangan," jelas Grayscale Investment.
Selain masalah pemadaman jaringan, komunitas kripto juga menyoroti pembagian token SOL yang dianggap kurang adil. Sebab, sebagian besar token tersebut mengalir deras ke "orang dalam" serta perusahaan modal ventura.
Sobat Cuan bisa membandingkan distribusi awal token Solana dengan jaringan blockchain utama lainnya. Kamu bisa melihat bahwa sistem distribusi SOL terbilang bermasalah dan bahkan lebih buruk dibanding kompetitornya yang lain.
Padahal, distribusi token di jaringan blockchain terbilang penting karena dua alasan utama, yakni:
Seperti yang dijelaskan di atas, Solana diperkirakan bisa memproses 65.000 transaksi per detik. Namun, ternyata klaim tersebut tidak sepenuhnya benar. Kok bisa?
Usut punya usut, kecepatan transaksi 65.000 per detik tersebut ternyata juga mencakup jumlah suara validator yang mengambil porsi 90% dari jumlah transaksi tersebut. Sementara itu, transaksi "benerannya" justru hanya 10% dari angka tersebut, alias sekitar 6.500 transaksi per detik saja.
Nah, biasanya, blockchain lain menggunakan kecepatan transaksi "beneran" ini untuk mengukur kecepatan transaksi asli di jaringannya. Namun, entah kenapa, Solana lebih menggemborkan kecepatan transaksi di protokolnya dengan ikut menghitung suara yang dihasilkan jaringan validator.
Jadi, apakah Solana secara teknis bisa memproses 65.000 transaksi? Ya.
Namun, apakah klaim itu keliru? Itu juga benar. Klaim tersebut terdengar seperti Solana hanya fokus ke hype dan pemasaran semata alih-alih membiarkan teknologinya membuktikan sendiri keandalannya.
Selain keliru tentang klaim kecepatan transaksi, komunitas kripto juga menyoroti kekeliruan klaim Solana soal suplai tokennya. Hal tersebut termuat secara lengkap di sini.
Bagikan artikel ini