Pluang+

Biaya

Blog

Tentang Kami

Inovasi dan kemudahan adalah misi kami, lihat kisahnya di sini!

FAQ

Temukan semua jawaban tentang berinvestasi di Pluang

Kontak Kami

Kami dengan senang hati menjawab pertanyaanmu. Hubungi kami!

Karir

Bergabunglah dengan tim kami!

telegram
telegram
  • facebook_logo
  • instagram_logo
  • twitter_logo
  • youtube_logo
  • telelgram_logo
  • linkedin_logo
  • tiktok_logo
app_logo
BlogIcon
Blog
Berita & AnalisisAkademiEventKamusTips & Trik InvestasiPromo
bookmark
Bookmark
Bagikan

Mengenal 2 Indikator Teknikal Utama: MA & Oscillator

Waktu baca: 4 menit

Tags
mengenal 2 indikator teknikal

Indikator teknikal memang beragam jumlahnya. Namun, indikator tersebut biasanya jatuh ke dalam dua kategori utama, yakni Moving Average dan Oscillator. Nah, di artikel ini, Sobat Cuan bisa memahami keduanya sekaligus menerapkannya dalam kegiatan trading.

Indikator teknikal adalah kalkulasi matematis berdasarkan tren harga atau volume perdagangan sebuah aset secara historis. Dengan kata lain, melalui indikator teknikal, trader bisa menerjemahkan grafik harga dan volume perdagangan sebuah aset ke angka-angka tertentu dan menentukan keputusan trading berdasarkan data-data tersebut.

Secara umum, pelaku pasar menggunakan dua indikator teknikal yakni Moving Average dan Oscillator dalam analisis teknikal, di mana keduanya punya manfaat yang berbeda-beda.

Moving Average

Dalam analisis teknikal, Moving Average (MA) adalah indikator yang digunakan untuk merepresentasikan rerata harga penutupan aset di pasar untuk jangka waktu tertentu. Trader biasanya menghitung MA untuk membantu mereka melihat arah pergerakan harga sebuah aset dalam satu jangka waktu tertentu.

Trader biasanya menggunakan dua jenis MA, yang terdiri dari:

  1. Simple Moving Average (SMA), yakni nilai rerata seluruh titik harga aset dalam satu periode tertentu. Angka tersebut didapat dengan mengakumulasi seluruh harga di titik-titik penutupan dan kemudian dibagi dengan jumlah titik harga yang terdapat di grafik tersebut.
  2. Exponential Moving Average (EMA), yakni perhitungan MA yang memberi bobot lebih banyak pada harga aset yang lebih terkini dan membuat EMA lebih sensitif terhadap pergerakan harga terkini di pasar.

Biasanya, trader menggunakan MA dalam periode lima, 10, 20, 50, 100, dan 200 hari. Mereka biasanya menggunakan kerangka waktu MA yang pendek untuk trading jangka pendek. Sebab, indikator tersebut lebih cepat bereaksi terhadap perubahan harga di jangka pendek dibandingkan MA dengan time frame jangka panjang. Sementara itu, trader jangka panjang biasanya menggunakan kerangka waktu MA yang lebih lama.

Sobat Cuan bisa melihat contohnya dalam grafik BTC/USD di bawah ini. Pergerakan MA dengan kerangka waktu 20 hari (garis atas) terbilang mirip dengan harga sebenarnya ketimbang MA dengan kerangka waktu 100 hari (garis bawah).

[caption id="attachment_33317" align="aligncenter" width="1766"]

 MA 20 hari vs MA 100 hari.[/caption]

Moving Average Crossover

Sebagai gambaran umumnya, tren harga dikatakan sedang menanjak jika harga aset berada di atas garis MA. Namun, tren harga disebut sedang melandai jika harga aset berada di bawah garis MA.

Hanya saja, ada kalanya garis harga sebenarnya melintasi garis MA, baik ke atas atau ke bawah. Nah, hal ini disebut dengan perlintasan (crossover) MA. Trader umumnya memperhatikan titik ini karena memberikan sinyal terhadap perubahan tren harga.

Pada tahap ini, trader atau investor perlu waspada sebab ada potensi risiko kerugian atau kesempatan cuan. Dan sama seperti analisis MA biasa, Sobat Cuan bisa mengatur kerangka waktu MA beserta crossover-nya mulai dari per 10 menit, per 1 jam, per satu hari, per satu minggu, atau per satu bulan.

Sebagai contohnya, Sobat Cuan bisa menengok grafik MA BTC/USD dengan kerangka waktu 30 hari berikut.

Dari grafik di atas, Sobat Cuan bisa memperhatikan bahwa tren harga terkonfirmasi ketika harga aset melintas ke atas garis MA 30 hari. Namun, harga terkonfirmasi turun ketika garis harga melintas ke bawah garis MA 30 hari.

Oscillator

Di sisi lain, oscillator adalah indikator analisis teknikal di mana nilainya berayun (oscillate) di antara dua titik ekstrem tertentu. Nilai tersebut bisa mengindikasikan macam-macam interpretasi, mulai dari perubahan tren pergerakan harga aset hingga tren kondisi jenuh jual (oversold) atau jenuh beli (overbought) di dalam pasar.

Trader umumnya menggunakan indikator oscillator dalam bentuk Relative Strength Index (RSI) ketika trading. Apakah itu?

Mengenal RSI

RSI adalah indikator oscillator berupa garis dengan nilai yang bergerak antara 0 hingga 100. Trader biasanya menggunakan RSI untuk mengukur kecepatan serta skala perubahan tren harga sebuah aset.

Secara umum, harga sebuah aset bisa dikatakan tengah bullish ketika garis RSI naik ke atas melewati titik 30. Jika tren kenaikan harga terus berlajut, maka garis RSI seharusnya menembus titik 70.

Sementara itu, tren harga aset disebut melandai jika garis RSI melengos ke bawah titik 70. Sejatinya, garis RSI jarang terlihat melebihi angka 70 dalam situasi downtrend, namun bisa terus longsor ke angka 30 atau lebih rendah lagi.

Nah, titik-titik tersebut bisa membantu trader untuk menentukan kekuatan tren harga atau melacak potensi perubahan tren harga sebuah aset. Sobat Cuan bisa menengok contohnya di grafik berikut.

Gambar di atas menunjukkan garis RSI dengan kerangka waktu 1 hari di grafik BTC/USD. Zona RSI di bawah 30 disebut sebagai zona jenuh jual (oversold), yang umumnya dilanjutkan dengan tren harga aset yang menguat. Di sisi lain, kondisi garis RSI yang melebihi angka 70 disebut dengan zona jenuh beli (overbought), yang biasanya diikuti dengan tren harga aset yang melandai setelahnya.

Bullish dan Bearish Divergence

Selain itu, Sobat Cuan juga bisa memanfaatkan RSI untuk membaca dua kondisi yang disebut bullish divergence dan bearish divergence.

Bullish divergence terjadi ketika pasar menunjukkan kondisi jenuh jual. Kemudian, nilai RSI sesi perdagangan berikutnya terlihat lebih tinggi dibanding sesi perdagangan sebelumnya meski harga aset terus anjlok antar sesi perdagangan.

Agar kamu tak bingung dengan penjelasan di atas, yuk simak contohnya pada grafik RSI BTC/USD dengan kerangka waktu 15 menit berikut!

Gambar di atas menunjukkan bahwa garis RSI terus meningkat meski berada di zona jenuh jual. Namun, di saat yang sama, harga BTC/USD terus melemah. Setelahnya, kamu bisa melihat bahwa RSI terus meningkat melewati level 30 sementara harga BTC/USD ikutan menghijau.

Nah, kondisi itulah yang disebut dengan bullish divergence. Nilai RSI yang terus naik meski harga melorot menunjukkan bahwa tren pelemahan harga BTC/USD akan segera berakhir. Sehingga, pelaku pasar akan memanfaatkan situasi tersebut untuk memasang posisi beli.

Konsep yang sama juga berlaku bagi kondisi bearish divergence. Dalam posisi ini, RSI berada di zona jenuh beli, namun garis RSI terlihat terus melandai. Sementara itu, di waktu yang sama, harga aset terlihat terus menanjak. Sobat Cuan bisa melihat contohnya di grafik berikut BTC/USD dengan kerangka waktu lima menit berikut!

Kamu bisa melihat bahwa nilai RSI terus jatuh dari zona jenuh jual, sementara harga aset terlihat menanjak. Hal ini mengindikasikan bahwa tren penguatan harga terus melemah, sehingga trader akan memasang posisi jual dalam merespons sinyal tersebut.

Nah, selain RSI, ternyata masih banyak lagi indikator oscillator lainnya yang tak kalah menarik! Yuk, simak selengkapnya di artikel berikutnya, ya!

Bagikan

Apakah artikel ini bermanfaat?