Sejarah harga emas dalam 50 tahun terakhir adalah sebagai berikut:
Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Richard Nixon memutuskan untuk berhenti mematok nilai Dolar AS dengan standar emas, sebuah kebijakan yang dijalankan AS sejak Perjanjian Bretton Woods pada 1944. Melalui sistem Bretton Woods, semua mata uang negara-negara adidaya pasca perang dunia ditautkan ke Dolar AS, sementara Dolar AS dipastikan untuk bisa ditukarkan menjadi emas pada harga US$35 per troy ons.
Namun pertukaran antara Dolar AS dengan emas menyulitkan negara Paman Sam tersebut dalam usahanya untuk mengendalikan tingkat inflasi yang meradang. Masalah lain muncul dari neraca pembayaran AS yang defisit, dikarenakan pembayaran impor terhadap pihak internasional yang menggunakan AS Dolar sama saja dengan adanya aliran emas yang keluar dari AS. Karena Dolar AS bisa dikonversi dengan nilai tukar yang tetap terhadap emas, maka AS akan “kehilangan” sejumlah emas untuk setiap Dolar yang dikeluarkan demi membiayai impor. Intinya, semakin banyak AS mengimpor barang, maka semakin rendah pula cadangan emasnya.
Oleh karenanya, Nixon memutuskan untuk melarang penukaran antara Dolar AS dan emas. Langkah ini sebenarnya direncanakan untuk bersifat sementara.
Dengan dihilangkannya standar emas, maka bank sentral AS The Federal Reserve (“The Fed”) dan pemerintah AS bebas meningkatkan jumlah uang beredar tanpa batasan.
Harga emas mencapai rekor tertinggi US$850 per ons akibat melonjaknya permintaan investor akan emas batangan. Hal ini disebabkan oleh reaksi investor akan inflasi tinggi yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak, campur tangan Uni Soviet di Afghanistan, dan dampak dari revolusi Iran. Semua ini menunjukkan bagaimana emas bertindak sebagai lindung nilai terhadap inflasi dan aset safe haven selama gejolak geopolitik.
Tahun 1980 – 1999 pasar emas turun (Bear Market). Selama dua dekade berikutnya, harga emas terus melandai hingga mencapai titik terendah US$254 per ons pada tahun 1999. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh:
Selama Krisis Keuangan Global di mana terjadi krisis utang dan moneter, harga emas naik dari US$700 menjadi US$1.800. Kinclongnya kinerja emas kala itu disebabkan oleh sikap investor yang mempertanyakan kemampuan institusi-institusi keuangan yang penting dalam membayar utang jangka panjangnya (solvabilitas) di mana kegagalan salah satu saja bisa menimbulkan kegagalan secara sistemik.
Emas adalah satu-satunya aset safe haven yang tersisa pada masa tersebut. Pasar obligasi telah “membeku” karena para pihak-pihak yang biasanya bertransaksi untuk saling meminjamkan dana tidak mengetahui apakah institusi mereka atau institusi lainnya akan bangkrut atau tidak dan pasar saham kalang kabut melakukan aksi jual yang heboh.
Tahun 2012 – 2020 Pasar Ekuitas Naik (bull market). Harga instrumen ekuitas mulai meroket setelah ekonomi dunia pulih dari krisis keuangan global. Akibatnya, investor kian getol menempatkan dananya di indeks saham S&P 500 dan menjauhi aset aman. Ini mengakibatkan harga emas terjun bebas 40% dari rekor tertingginya US$1.800 per ons menjadi hanya US$1.050 per ons antara 2012 hingga 2016.
Seterusnya harga emas bergerak relatif stabil dalam rentang US$1.100 hingga US$1.400 per ons. Harga emas kembali menanjak pada pertengahan 2018 di tengah kekhawatiran terlalu memanasnya perekonomian dan kemungkinan meletusnya harga-harga aset yang menggelembung dan juga karena meningkatnya ketegangan geopolitik antara AS dan China.
Selama pandemi COVID-19, harga emas melonjak sekitar 37% dari US$1.447 menjadi US$1.985 karena emas kembali melanjutkan peran tradisionalnya sebagai aset safe haven. Investor beralih dari saham ke emas karena khawatir bahwa pemerintah dan bank sentral AS akan mencetak uang yang berlebihan (fiat debasement) dan was-was akan kemungkinan pertumbuhan ekonomi yang rendah.
Sejak Juli 2020, investor mulai mengabaikan rasa pesimis akibat pandemi dan kembali memperhatikan nilai instrumen ekuitas. Kenaikan harga saham didorong oleh murahnya utang karena tingkat suku bunga yang diturunkan dan besarnya dana yang dipompa ke pasar oleh bank-bank sentral, peningkatan pendapatan akibat kenaikan jumlah pembayaran transfer dari pemerintah untuk rakyat untuk mengatasi beratnya pandemi, peningkatan valuasi aset, pulihnya permintaan global dan tentu saja dukungan kebijakan moneter longgar dari The Federal Reserve.
Bagikan artikel ini